UTR 38

39.4K 4.8K 1.2K
                                    

Dilarang baca sebelum tunai ibadahnya.

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

**

    Empat hari pasca operasi sekaligus perawatan selama di rumah sakit, Geladis sudah diperbolehkan pulang. Namun hal ini tidak kemudian menghentikannya menjejaki tempat kesehatan itu karena Ryan masih dirawat secara intensif di sana. Selain tidak ingin merepotkan Hanifa, Ryan juga yang bersikeras ingin dirawat sendiri oleh Geladis. Lelaki itu betul-betul menunjukkan sisi yang berbeda ketika sakit, sebentar-sebentar mencari istrinya, makan minta disuapi istrinya, ke mana pun minta ditemani istrinya.

   "Mas Ryan berbeda dengan sakit yang dulu," komentar Geladis seraya membawa sesendok bubur ke depan mulut Ryan.

   "Hm?" Lelaki itu menaikkan alis.

   "Manja."

   Ryan menelan makanan di dalam mulutnya, kemudian menjawab dengan nada santai, "Kalau kamu keberatan biar—"

   "Tidak, aku ikhlas," sahut Geladis cepat kemudian menyengir.

   "Saya tidak ada kamu cari, saya ada kamu mengeluh. "

   Perempuan itu lekas meletakkan piringnya ke nakas kemudian memeluk suaminya dari samping.

   "Maaf ...."

   "Permintaan maaf tidak diterima," jawab Ryan tanpa menatap ke arah perempuan yang tengah menyandarkan kepalanya di dadanya.

   Alhasil, perempuan itu mencebik. Ia sudah ingin mendakwahi Ryan dengan dalil-dalil perihal meminta maaf dan memberi maaf namun tertahan oleh perkataan Ryan selanjutnya.

   "Saya maafkan, dengan syarat."

   "Apa?" tanya Geladis masih dengan pipi menempel di dada Ryan.

   Namun, suaminya itu justru diam, sangat-sangat diam yang bahkan suara napasnya saja tidak terdengar. Geladis mendongakkan kepala dan melihat rahang tegas Ryan yang tepat berada di atas kepalanya.

   "Apa, Mas?" Sekali lagi ia bertanya.

   "Buat saya senang," kata lelaki itu. Sepertinya tadinya ia sedang berpikir dan baru menemukan jawabannya sekarang.

   Geladis bukan perempuan tak berakal sehingga mendengar persyaratan sederhana itu, ide cemerlang langsung muncul di kepalanya. Ia pun diam di sana tak bergerak bak patung. Tak ayal hal ini membingungkan Ryan yang langsung menunduk dan menemukan istrinya itu tengah memejamkan mata.

   "Sedang apa kamu, Dek?"

   "Membuat Mas Ryan senang," sahut perempuan itu masih dengan mata tertutup.

   Sungguh, keadaan sakit ini membuat Ryan agak lamban berpikir. Ia tak paham sama sekali apa maksud Geladis yang hingga detik ini masih diam di sana.

   "Kamu hanya diam di sana ...." Ryan menjeda ucapannya, namun tak berniat melanjutkannya karena ingin Geladis memberinya respon lebih dulu.

   Geladis tersenyum dan mendongakkan kepalanya sekali lagi yang kali ini mempertemukan dua ujung pandang mereka. Baru beberapa detik saja Geladis sudah ingin menyerah lantaran degup jantungnya seperti akan meledakkan dadanya saking kencangnya.

   Bukan rahasia lagi jikalau kelemahannya merupakan sepasang mata teduh dengan sorot tajam nan intens itu yang bisa melumpuhkan saraf-sarafnya sampai tak bekerja dengan benar. Seperti yang telah disampaikan oleh seorang penyair sufi termahsyur Maulana Jalaluddin Rumi, beliau berkata, "Aku selamat melintasi semua lautan, tapi aku tenggelam di kedua matamu." adalah perumpamaan yang pas untuknya. Dan fakta ia harus memasang wajah tebal, seolah-olah kemerah-merahan di pipinya saat ini tak pernah ada.

Untuk Tuan RyanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang