2. Manusia kotor itu tidak ada

310 34 2
                                    

SEMPATKAN VOTE DAN KOMENNYA😁
Bismillah, besok update lagi.
Terima kasih sudah bertahan sampai part ini.
HAPPY READING❤
Semoga suka.

***

"Lo pengecut, Del."

Lengang. Suara bisik-bisik dan teriakan tadi seperti tertiup angin entah kemana.

"Lo pengecut karena lari dari tanggung jawab." Raffa berdiri, tangannya disimpan dalam saku celana. Tidak maju, hanya di tempat duduknya. Tapi dia bisa melihat tatapan tajam Adel yang sampai kapanpun tidak akan luntur dalam jarak 6 meter.

"Lebih pengecut lagi, karena lo selalu mau merasa menang padahal jelas-jelas lo kalah. Orang-orang juga udah pada tau kalau kemauan lo gak terbantah. Tapi, sorry, kali ini itu gak akan terkabul.

"Udah berapa banyak laki-laki di kelas ini ngalah demi lo? Udah berapa banyak Laki-laki yang lo singkirin sejak lo kembali sekolah! Gue tanya?"

Nafas Adel menderu. Tangannya terkepal erat. Kukunya yang panjang tak terasa sudah menggores tangannya.

"Selain pengecut dan egois. Mungkin kata-kata yang lebih kotor. Itu pantas buat lo." Sial. Tubuh perempuan itu bergetar.

Di bawah tatapan teman sekelasnya. Adel segera menarik tasnya dari laci meja. Membuat mereka yang ada disana menatap Raffa dan Adel bergantian, baru kali ini, baru kali ini Adel terdiam, tidak bisa membantah dengan nada dingin sedingin kutub utara, atau sepedas cabai terbaik di dunia.

Perempuan itu justru berlari. Membelah kerumunan, kakinya yang bergetar hebat di paksa di ayun sekencang mungkin agar keluar dari kelas yang baru kali ini terasa persis seperti rumahnya, neraka.

***

"Selain pengecut dan egois. Mungkin kata-kata yang lebih kotor. Itu pantas buat lo."

Halte sepi. Sedang Adel berkelana dengan pikirannya. Perempuan itu meremas seragam sekolahnya, tangannya bergetar hebat, wajahnya pucat pasi. Baru kali ini pertahanannya runtuh kembali. Jahat, lagi-lagi Adel menyalahkan dunia karena tak memberinya nafas untuk di hirup lebih lama.

Dada perempuan itu makin sesak. Seperti di remas. Tapi dia berusaha untuk tenang, menghitung angka satu sampai sepuluh berulang kali. Sampai akhirnya sebuah taksi online berhenti di depannya. Adel segera masuk, membuka kaca jendela, membiarkan angin menerpa wajahnya yang berkeringat dingin.

Bolos lagi. Entah apa yang akan Mama katakan kepadanya lagi hari ini. Kata-kata mutiara itu akan kembali Adel terima.

***

"Pikirannya jangan terlalu bercabang dulu. Kalau perlu, jangan melamun. Lebih baik waktu luangnya di pakai untuk semacam meditasi, rileks, lakuin hal yang menurut kamu bikin tenang. Kalau saya boleh tau, Adel akhir-akhir ini suka melakukan apa?"

"Bermain piano, Dok."

Tuts piano beradu dengan jari lentik itu, memainkan beberapa melodi lagu. Seiring jemarinya lincah, mata lentiknya terpejam sesaat, menikmati satu persatu suara yang menyatu.

River flows in you.

Adel mempelajarinya sejak pertama kali menyentuh alat musik yang berdebu itu kembali setelah sekian lama tak terpakai di gudang saat penyakit anehnya itu tiba-tiba menyerang.

Pertama kali, Adel tersiksa. Tapi lama-kelamaan, karena sudah terbiasa, Adel menjadi suka.

Suka dalam artian pada melody yang dia ciptakan sendiri. Suka saat ruangan gelap dengan tirai senantiasa tertutup itu seperti memantulkan kembali alunan musik. Suka melihat bayangan dirinya pada pantulan cermin dengan retak besar itu di ujung ruangan.

Adel suka sendiri, tertutup, menyembunyikan diri.

"Kalau ada apa-apa. Kamu minum obatnya dua butir saja. Jangan kelepasan, paham?"

Tapi justru, mendengar nama obat. Pikiran tenang Adel langsung terganggu dengan kejadian siang tadi di sekolah. Adel kotor? S-sejak kapan? Kata dokter, itu tidak terjadi..

Jejemari itu menekan tuts piano asal. Tangannya bergetar, suara merdunya berubah kasar.

"Tenang, Adel. Oke?"

"Kamu dengar saya. Di dunia ini, semuanya terlahir suci. Tapi ini.." Bayangan dokter Vania tersenyum terlintas, menunjuk otaknya.

"Manusia berubah karena ini seiring berjalannya waktu," Wanita itu terlihat berpikir bagaimana kalimat yang dia ucapkan, bisa Adel terima dengan lebih baik.

"Otak memaksa kita untuk bisa melakukan apa saja. Termasuk berpikir apakah yang kita lakukan sudah benar atau tidak. Kalau kita sudah buta, tidak bisa membedakan mana perbuatan buruk dan benar.. Maka konsekuensi nya sudah hampir sama seperti yang kamu alami.. Pemilik otak kotor itu melakukan tindakan yang tidak senonoh tanpa peduli sampai korbannya menderita sekalipun."

Perempuan yang duduk di seberang meja sore itu berusaha menghibur.

"Tapi, Adel tahu kan? Orang di luar sana bahkan lebih parah dari kamu.. Mereka juga sama tersiksa nya seperti kamu.. Tapi mereka bisa hidup. Mereka bertahan karena apa?"

"Karena pikiran mereka memaksa untuk kuat. Mereka menghapus ingatan gelapnya sedikit demi sedikit. Mereka berusaha menolak kenyataan, kalau mereka sudah tidak suci, kalau masa depan mereka sama sekali belum ternodai. Kalau tidak semua Lelaki itu sama, mereka berusaha.

"Kalau orang seperti mereka saja bertahan. Adel tentu juga bisa kan?"

***

Adel egois untuk bertahan yang guys. Emang nyebelin.. Tapi kalian harus tau juga kalau setiap tindakan itu, pasti ada sebab dan akibatnya.

Evanescent (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang