37. Tentang mengapa Papa pergi

89 9 0
                                    

UPDATE LAGI, RAJIN KAN GUEEH?
Vote, komen juga boleh. Pembacanya mau sampe 1k yey, makasih banyak udah naik kapal Evanescent sejauh ini! Kita tunggu sampai karam, ya!

HAPPY READING!
Semoga suka❤
***

"Gue kelepasan bentak Mama." Cerita Adel di balik punggung Raffa. Suaranya kecil karena angin malam yang lebih kencang dari biasanya, mungkin efek hujan deras yang tiba-tiba dan menjelma rintik lebih sendu. Kepala Adel yang dia katakan berat bersandar tanpa takut dipunggung lebar Lelaki itu.

Adel memejam, menghela nafas. "Gue belum cerita, ya?"

"Cerita apa?" Sekali itu, netra Raffa yang kosong menghadap jalanan ditolehkan pada kaca spion, memantulkan Perempuan cantik dengan bekas air mata di pipinya.

"Hari itu rabu, Mama dirumah, Papa di kantor, dan gue baru aja pulang sekolah." Katanya, pelan, dan penuh akan sesak. Kali ini rasanya berbeda saja, Adel hanya ingin menceritakan semuanya seperti bagaimana Raffa terang-terangan membeberkan masalah keluarganya di ruang seni. Hanya seperti itu, agar mereka setidaknya tidak menyimpan rahasia seorang diri.

"Dulu gue pernah ketemu Laki-laki yang menurut gue baik banget. Namanya Kak Samuel." Raffa memilih menjadi pendengar, laju motornya pelan. Seiring memasuki kawasan yang terbilang lebih sepi, Adel menerawang sekitar untuk kembali melanjutkan, "dia pacar pertama gue."

Dan untuk sepersekian detik, Raffa terhenyak.

"Pacar yang keras kepala, yang selalu kemauannya harus diturutin, yang maksa gue untuk ketemu Papa di perusahaan nya. Yang buat onar sampai semua gedung kebakar. Juga orang yang udah melecehkan gue."

"Adel." Raffa memanggil. Dunia seakan berhenti saat mata mereka bertemu dibalik spion malam itu. Raffa menggeleng pelan, memberi isyarat agar Adel bisa menghentikan ceritanya jika tidak kuat. Raffa tidak ingin hanya dengan itu, Adel harus mengulik masa lalu kelamnya yang selama ini Adel berusaha anggap tidak ada.

Tapi justru Adel balas menggeleng seolah berkata tidak apa-apa dengan seulas senyum tipis. Dan matanya Raffa baca berbohong kalau dia tidak sedang sakit.

"Rabu itu kelam banget Raffa. Kak Sam rusakin gue dan ngancem bakal bakar perusahaan kalau gue membantah. Gue gak bisa apa-apa karena waktu itu gue cuma anak sekolah menengah yang gak ngerti apa-apa-" Jeda diberikan untuk Adel karena dia perlu menghirup udara lebih banyak. "-Papa panik karena ternyata perusahaan yang dia rintis sepenuh hati benar-benar dibakar Kak Sam. Gue gak tahu rencananya udah sebesar itu. Karena dia bukan cuma niat hancurin gue, tapi hancurin satu keluarga gue."

"Adel, gue bener-bener gak maksa lo untuk cerita." Raffa menyahut. Benar-benar memohon.

"Mungkin karena itu juga, Kak Sam tega nyiram gue dengan minyak tanah, nyeret gue di tengah-tengah tumpukan apapun yang bisa dibakar. Terus mulai nyulut api disetiap sudut ruangan." Ucapan Adel yang keras kepala bersamaan dengan remasan di jaket Raffa.

"Tapi Raf, lo tau? Papa datang, Papa kesayangan gue datang diwaktu yang pas banget. Kalau lo lihat waktu itu, persis di film aksi yang tayang di televisi gimana Papa ngelakuin penyelamatan pertama buat gue. Papa nyeret gue keluar. Harusnya-" Adel sesak nafas. "-harusnya kita keluar bareng-bareng. Harusnya Papa yang pegang tangan gue untuk nyelamatin diri. Tapi Kak Sam... Kak Sam narik Papa dalam api Raffa..."

Tangis Adel pecah, dia meraung-raung disela Raffa buru-buru memberhentikan motornya untuk membalik badan dan menemukan kondisi Adel yang lebih kacau.

"Hari rabu itu pemadam kebakaran lambat datang, dan gue dengan jelas lihat gimana bangunan bersejarah hasil usaha Papa gue hancur di depan mata. Gimana tim forensik datang setelah pemadam kebakaran berhasil madamin api. Gimana dia bilang ke Mama kalau hasil pemeriksaan keluar dan tulang belulang yang di dapat itu milik Papa..." Adel menggeleng penuh rasa sakit.

Evanescent (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang