YEY UPDATE!
Seperti biasa, vote dan komennya😄
Besok lanjut gak nih?HAPPY READING❤
Semoga kalian suka.***
Ataksia.
Adel mendengar pembicaraan itu sekilas, lewat begitu saja dari celah pintu, ruangan Dokter Nuca, Adel membacanya di tulisan atas.
Dia sempat berhenti, mengepalkan tangan di dalam saku cardigan putih. Kasian sekali, Perempuan itu tak mengira jika penyakit mematikan itu masih ada. Lalu karena hal tersebut bukan urusannya, dia kembali melanjutkan langkah, berbelok dan menemukan ruangan Vania-Perempuan yang dengan sabar memberikan penenangan dan berusaha sebisa mungkin selama setahun lebih agar Adel bisa sembuh.
Jarinya menarik knop pintu begitu selesai mengetuknya tiga kali. Dan bersamaan dengan itu, Seorang Perempuan dengan rambut bergelombang serta polesan make up tipis yang nyaris luntur keluar dari sana, wajahnya basah, sembab seperti habis menangis. Tatapan mereka bertemu beberapa detik, dan Ketryn langsung membuang muka.
Dia kedapatan menangis di depan Adel.
Karena Adel sudah lebih dari apapun untuk menetralisir rasa terkejutnya, maka wajah datarnya berubah saat Ketryn berkata dengan suara serak, "ngapain lo disini?"
Alis Adel naik, "privasi." Ucapnya datar, menepi, hendak masuk pada celah lain karena Ketryn berdiri tepat di ambang pintu.
"Penyakitan lo?" Aish, sepertinya Ketryn hendak cari gara-gara kembali, terbukti dengan hentakan sepatu Adel yang tiba-tiba berhenti, tak Terima di katakan seperti itu.
Perempuan itu maju dua langkah menatap Ketryn lebih dalam, mencari letak dimana netranya bisa beku, dan Ketryn akan kehabisan kata-kata.
"Lo dari dalam kan?" Dia menatap dari ujung sepatu sekolah Ketryn yang berwarna putih, naik pada seragamnya, "terus lo keluar dari dalam sana sambil nangis. Apa jangan-jangan, lo yang penyakitan? Kenapa? Parah banget ya? Kasian."
Tepat sasaran. Raut wajah Ketryn berubah geram, rasanya dia ingin menjambak rambut Adel dan mencakar-cakar wajahnya yang menyebalkan itu, namun kalah telak saat pintu di banting, Adel sudah masuk kedalam ruangan Dokter Vania.
Dan Ketryn mengambil ponselnya yang berdering di saku seragam, telpon dari Papa. Lewat pantulan ponsel yang di layar yang masih gelap, Perempuan itu bercermin sebentar, menatap pantulan dirinya, mengenaskan, rambut bergelombang nya berantakan, make upnya berantakan.
Pantas saja Adel memaki-makinya.
***
"Kenapa, Ra? Tumben." Hal pertama yang Adel lakukan begitu masuk pada kafe yang Nara kelola adalah menyimpan tas jinjingnya di atas meja piano. Tanpa berbasa-basi, langsung bertanya apa hal yang membuat Nara mengajaknya kemari. Perempuan berambut sebahu dengan jaket kulit coklat yang sedang membuat kopi itu mengedikkan dagunya ke arah kursi berisi satu Lelaki yang duduk membelakangi.
"Duduk disitu aja dulu, nanti gue nyusul," Ucap Nara, membuat alis Adel bertaut bingung.
"Tenang, Del. Ada gue, tuh cowok gak bakal ngapa-ngapain." Ucapnya meyakinkan, menyimpan segelas kopi di meja, memandang wajah Adel dengan pandangan berbunga-bunga.
Lalu karena Adel sudah terlalu lelah untuk membantah, di tambah dia belum beristirahat sejak kembali dari rumah sakit, perempuan itu mengambil kembali tasnya, berjalan ke arah meja pojok yang menghadap pemandangan jalan raya kota yang sedang padat-padatnya. Pukul 4 sore.
Tarikannya pada kursi di susul deritan, membuat seseorang disitu berjengkit kaget, langsung menoleh. Dan hal itu membuat pergerakan Adel terhenti. Tas jinjingnya langsung di remas kuat.
Melvian.
Lelaki itu melontarkan senyum, seolah hal ini memang sudah dia rencanakan. Jantung nya berpacu cepat. Kenapa Nara mengajaknya bertemu Lelaki ini? Apa Mama yang menyuruhnya? Padahal Adel sudah merencanakan matang-matang agar dia bisa berbicara empat mata dengan Melvian tiga hari lagi, seperti yang Yani sampaikan, mereka harus berbaikan, walau terlepas dari kejadian di mobil waktu itu, Adel masih tidak bisa menerimanya.
"Duduk, Del." Adel berjengkit, masih syok. Nara menarik kursi duduk di samping Melvian, bersamaan dengan gerakan patah-patah Adel yang mulai menyandarkan bokongnya. Adel bisa melihat Melvian menarik jari-jemari Nara, menautkannya pada tangan kekar miliknya.
"Lo kaget banget ya, haha," Nara terkekeh canggung. Menggaruk kening. "Sebenarnya gue udah mau ngomong ini sama lo dari kemarin, cuma karena sibuk, jadi hari ini aja,"
Aneh.
"Oh kenalin dulu, Melvian. Ini Adel, sahabat gue SMP," Melvian mengangguk singkat membalasnya, netranya tak lepas dari gestur tak nyaman Adel di depannya.
"Ini, Melvian, Del. Pacar gue."
Adel langsung berjengit, pupilnya membesar, nyaris tersedak ludah sendiri mendengarnya. Walau tetap tak bersuara karena hal ini terlalu tiba-tiba, tapi dari reaksi Adel yang berlebihan menurut Nara, perempuan itu menjelaskannya lebih detail pada sahabatnya agar tidak terjadi kesalahan pahaman.
Dan yang Nara tidak tau, kalau Melvian dan Adel sudah saling kenal sebelum dia mengatakan pada Adel kalau Lelaki brengsek ini adalah kekasihnya.
Melvian menipiskan bibir, hanya mendengarkan pembicaraan Nara, hingga Adel pamit untuk pulang, tidak lebih, dan di saat punggung perempuan berambut lurus itu hilang dari jendela kafe. Melvian melepas tautan tangan mereka, berkata pada Nara, "aku ke toilet sebentar."
***
"Agatha."
"Agatha! Dengar aku dulu," Melvian dengan lancang menarik pergelangan tangan Adel yang berusaha berjalan secepat mungkin di pinggir jalan. Perempuan itu menatap Melvian nyalang, menepis kasar tangan Laki-laki itu. Mengambil jarak.
"Brengsek." Maki Adel dengan nafas memburu, membuat Melvian kembali maju, hendak menarik Adel kembali jika saja perempuan itu tidak langsung mundur. Untung saja mereka saat ini sedang berada di tengah keramaian, jadi Melvian tidak bisa melakukan hal yang semena-mena seperti waktu itu.
"Maaf. Waktu itu aku khilaf." Ucap Melvian bersalah. Tapi dari nada yang dia lontarkan, Adel tidak mendengar kesungguhan dari Laki-laki ini. Adel tau, dia hanya bersifat manis seolah Laki-laki yang baik hati. Tapi sifat busuknya sudah dapat Adel cium lebih dulu. Karena itu perempuan itu mendengus, memberi tatapan intimidasi tanpa rasa takut.
"Apa alasan lo pacarin Nara?! Lo mau apa dari dia?!"
"Aku mau kamu." Imbuh Melvian mantap. Membuat Adel langsung membeku, jantungnya berdesir hebat, bertalu-talu. Tangannya kembali bergetar hebat, pandangannya memburam begitu Melvian hendak menariknya. Saat itu, entah ancaman bagaimana, dan dalam kondisi bagaimana. Adel tidak segan melayangkan tamparannya. Tamparan keras hingga tangan kanannya terasa kebas.
Apapun yang sedang di rencanakan Laki-laki ini, Adel harus bisa melawan.
***

KAMU SEDANG MEMBACA
Evanescent (END)
RandomTentang lelaki pengidap penyakit ataksia yang bertemu dengan perempuan pemilik trauma masa lalu. *** Adel benci di sentuh laki-laki. Adel tidak suka menjadi lemah. Adel lelah tidak menjadi diri sendiri, selalu ke psikiater. Dia benci punya penyakit...