39. Papa ... tolong jangan

109 8 0
                                    

UPDATE LAGI YUHUU.
Lanjut karena sudah kuat, kalian juga kuat, dong pastinya.
Votenya seperti biasa.

HAPPY READING!
Semoga suka❤
***

Adel tidak tahu yang membawanya mengemudi mobil dengan kecepatan di atas rata-rata adalah perasaan bersalah, ketakutan, atau justru sayang. Atau bisa juga, ketiga emosi itu bersatu membuatnya tidak bisa berpikir jernih. Nara berkali-kali menyadarkan karena temannya itu sudah mirip orang yang kehilangan akal sehat.

" Adel gak akan nyesal kalau Adel bilang lebih baik Adel kehilangan Mama daripada Papa!"

Bibir Perempuan itu digigit kuat, air matanya tak kunjung berhenti mengingat perkataannya yang keterlaluan malam itu. Jika bisa memutar waktu kembali, Adel lebih memilih diam daripada harus berkata demikian, Adel harusnya bisa mengontrol emosinya, Adel harusnya tidak kemana-mana.

"Mama, maaf. Maaf..." Paraunya memukul stir kemudi beberapa kali, Perempuan itu tak memedulikan apapun lagi selain cepat-cepat sampai rumah sakit.

"Bilang ke nyokap lo kalau lo nyesal, kalau lo gak ada niatan seperti itu. Lo dikuasai amarah, dan omongan lo ngelantur ke mana-mana. Bilang ke nyokap lo kalau lo sayang sama dia lebih dari apapun. Gue tau lo gak pengecut buat ungkapin itu."

"Nara. Gue gak akan kehilangan Mama 'kan?"

"Lo ngomong apa, sih?! Fokus aja nyetirnya!" Nara memekik, tidak mau mendengar Adel berkata yang tidak-tidak. Rambutnya diusap gusar, rasa takutnya merajalela. Bagaimanapun, Mama Adel adalah orang yang sangat penting bagi Nara.

Selepas perkataan Adel, mereka berdua sama-sama diliputi ketakutan. Nara terus merapal semoga saja hal baik menunggu mereka di rumah sakit, operasinya berjalan lancar, dan Tante Yani akan baik-baik saja. Bagaimanapun, operasinya dimulai dari jam 4 tepat setelah mobil Wanita tersebut ditemukan remuk menghantam truk bermuatan berat. Jika saja benar-benar berjalan lancar, Tante Yani akan mereka jumpai diruang ICU setelah dua jam lebih merasakan ketegangan di ruang operasi.

Mobil Adel terpakir sempurna dipelataran rumah sakit. Nara menjadi orang pertama turun sebelum akhirnya memutari mobil karena Adel terlihat kesusahan berdiri, tubuhnya lemah tak berdaya. "Tante Yani bakal baik-baik aja oke? Percaya sama gue."

Adel tidak menyahut, tangisnya semakin kencang dan Nara yang sudah tidak kuat berteriak dengan bibir penuh getar. "ADEL! lo harus percaya sama Tuhan! Berdoa semoga semuanya baik-baik aja!"

Nara memaksa Adel berjalan, membuka pintu utama lalu langkah besar mereka menyusuri koridor. Jika diperhatikan, Nara lebih terlihat sedang menyeret manusia tanpa nyawa sebab pandangan Adel yang terus kosong, paru-parunya seakan kehabisan oksigen saat mengingat kebahagiaannya tadi malam justru membawa malapetaka untuk Mamanya. Adel tidak tahu harus menampakkan diri seperti apa karena terlalu malu untuk melihat wajah sang ibu.

"GAK ADA YANG TIDUR SAMPE PAGI! AWAS LO PADA!" Semua yang berada disitu terkejut mendengar teriakan Demian yang tiba-tiba berdiri dari alas yang mereka duduki.

"Udah mabok. Maklumin, ya, Del." Meira segera ikut berdiri, nyengir pada Adel padahal Perempuan itu tidak terganggu sama sekali. menepuk-nepuk pipi Demian. "Malu-maluin lo!" Gerutu Meira kesal. Sebelum akhirnya menuntun Demian masuk tenda.

Melihat dua remaja yang lebih dewasa itu menjauh, Adel mengemas lima botol wine yang tergeletak untuk disimpan dalam plastik, memungut beberapa bungkus snack yang berserakan. Lalu tiba-tiba Raffa menahan tangannya, mengambil botol yang tersisa ditangan, menuangnya di gelas hingga isinya tandas.

Evanescent (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang