18. Tulisan tangan penyimpan kenangan

175 18 0
                                    

UPDATE?! YEYY!!
Setelah sekian lama, kita bertemu Adel.
Part ini bikin Authornya mewek sih, semoga kalian enggak;)
Vote nya jangan ketinggalan!

HAPPY READING❤
Semoga suka..

***

Mereka sebenarnya berangkat jam 2 siang. Setelah meminta izin pada mama Adel, juga menghabiskan makanan. Nara memulai penelusurannya, mencari tempat pemakamam umum yang sialnya terletak jauh sekali, seolah agar tidak ada yang bisa kesana, seakan-akan agar Adel memang benar-benar tidak bisa melihatnya.

Dua Gadis itu dilanda peluh, terik matahari menyengat, menembus kepala, seolah ubun-ubun rasanya meledak.

Dan setelah perjalanan dua jam lebih dengan mobil yang Nara kendarai. Mereka tiba di tempat pemakaman. Mencari nama Papa, membuka sesi sedih pertama kali.

Adel masih tidak bisa bereaksi, masih terlalu letih mungkin. Dia mengelap peluh didahi dan lehernya, mengikat rambutnya sembari tabah dengan langkah menyusul Nara yang lima meter didepan, seolah tidak sabar. Dan disitu, Adel melihat Nara bersimpuh, lututnya tanpa takut menyentuh tanah, membuat celananya kotor.

Dan yang membuat Adel tiba-tiba sesak adalah.. isakan Nara yang lolos begitu saja.. Di makam ayahnya.

Dia sukses membatu. Bibirnya tiba-tiba saja kelu melihat pemandangan menyedihkan itu.

Harusnya.. Adel bisa seperti Nara 'kan? Harusnya dia menangis sebagai luapan emosinya. Tapi justru, Adel tidak punya reaksi apapun selain menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Dan disitu Adel sadar.

Harusnya, Adel bisa menjadi remaja yang normal, tapi Tuhan tidak berkehendak seperti itu.

"Papa.. Nara kangen.." Isakan Nara keluar, bibirnya bergetar, suaranya bahkan tidak terdengar. Yang dia tau Adel berjalan mendekat, langkah nya berhenti disampingnya, tidak berjongkok. Dia berdiri mengamati makan Papa yang terlihat sangat terawat, ada bekas air, bunga, dan wangi.

Beberapa buket bunga layu tergeletak disana. Ada tulisan tangan rapi yang Adel baru sadar adalah tulisannya. Dia terkejut melihat itu, lalu sebuah ingatan melintas begitu saja, memutar dari ujung kepalanya seperti kaset rusak.

"Ada kesan dan pesan hari ini?" Dokter Vania menatap Adel tersenyum. Pertemuan mereka yang ketiga, Adel masih tidak terlalu terbuka, karena itulah, dia menatap Dokter itu aneh karena tiba-tiba menyodorkan sebuah notebook dan pulpen.

"Coba tulis hal yang buat Adel bahagia hari ini. "

"Untuk apa?" Garis kening Adel kentara, wajahnya sebal karena seenaknya disuruh-suruh.

"Siapa tau ada orang yang mau dengar cerita Adel hari ini. Adel gak lupa 'kan, kalau yang di atas juga mau tau keadaan Adel gimana? Kata nya dia nunggu lama banget. Tapi gak di bales."

Lalu semua nya entah kenapa memiliki garis kuning waktu Adel kembali mengingat masa dimana dia masih mengenakan seragam putih biru, baru saja pulang dari sekolah dan Papa menyambutnya dengan peluk hangat dan sebuah hadiah berlapis kertas kado gambar kartun sofia.

Adel ingat, warna ungu gaun itu sama dengan warna sebuah ponsel yang tiba-tiba Adel temukan di dalamnya. Ponsel nya yang pertama karena kata Papa, anak penurut harus diberi hadiah.

Dan Adel dengan sumringah menerimanya, mengecup wajah cinta pertamanya. Dan merekamnya, rekaman pertama kali di tahun 2017, disaat masa Adel masih sangat bahagia. Isi percakapannya kurang lebih seperti ini.

"Papa sih lebih suka kalau Adel selalu kirim surat, kasih kabar biar Papa bisa tau kalau Adel baik-baik aja."

"Kenapa? Kan bisa ketemuan aja, Papa ngomongnya ada-ada aja. Lagian anak Papa yang cantik ini bakal tetap di rumah kok."

"Nah, masalahnya. Papa yang gak bisa netap dirumah. Jadi Papa butuh surat Adel sebagai kenangannya."

".. Papa mau kemana?"

Ada cairan di pelupuk matanya yang sial sekali, tidak ingin jatuh. Sakit sekali, sampai Adel perlu memejamkan matanya beberapa detik, mengambil nafas panjang dan ujung-ujungnya mendongak, menatap langit biru yang di bawahnya ada satu orang yang menangis sesegukan.

Didunia seluas ini, Adel berharap memiliki teman yang punya sakit yang sama. Karena setidaknya, Adel tidak merasa sendirian di bumi karena tiba-tiba Nara berceletuk dengan suara seraknya, "nangis itu manusiawi, Del. Yang gak manusiawi itu justru lo." Hal itu menancap, parah sekali, dan Nara tidak peduli.

"Kenapa cuma gue? Kenapa lo enggak?" Adel menahan suaranya agar tidak tersangkut di tenggorokan.

"Apa?"

"Lo gak kangen Papa?"

Sebuah pertanyaan yang bisa menjebak Adel masuk dalam jurang penyesalan dan mungkin tidak bisa lagi keluar. Makanya Adel mati-matian membalas meski bibirnya linu. "Pertanyaan lo kekanakan."

"Terus lo gak kekanakan?" Nara bertanya, nadanya dalam. Pun netra basahnya yang mendongak, "gue gak tau apa yang bisa buat lo nangis di dunia ini. Bahkan untuk sekedar ada di depan Papa, lo gak lakuin itu."

"Buat apa?" Tanya Adel juga. membuat Nara sekali itu lagi, menatapnya dengan warna mata merah, seolah murka.

"Untuk apa lo tanya?" Dan Nara seolah baru saja menyesal sudah mengatakan hal itu pada seorang Adel yang dia tau, hatinya sudah lebih keras dari sebuah batu.

Perempuan di samping Nara itu menghela nafas pelan. Berusaha menetralkan degup jantung yang membuat suaranya nyaris sumbang. Lalu, bersuara. Pelan, tapi menghanyutkan.

"Nangis emang manusiawi. Tapi kalau yang namanya manusia udah sampai dititik paling rendah dari ujung dirinya. Nangis pun jadi hal yang gak berguna." Nara diam mendengar penuturan itu, ada rasa bersalah karena tadi kalimatnya sudah menyindir sahabatnya.

"Kita emang bisa apa? Nangisin hal yang gak bisa kembali itu kesia-siaan yang sialnya gak bisa di elakkan."

Dan Nara perlahan paham, justru didetik paling rumit yang Nara pikir tidak bisa dibilang waktu luang untuk seharusnya mengeluarkan kalimat bijak, Adel melakukannya. Bukan penenang diri, tapi kalimat panjang itu mengalahkan teriknya atmosfer pagi ini. Dingin dan mampu membungkam si pendengar, membuat lidah beku dan kelu.

"Jadi, alih-alih nangis dan nyesal di kemudian hari. Kenapa gak berhenti dan buat diri kita keluar dari jebakan si peninggal kenangan? Bikin sesuatu yang lo dan 'dia' bisa sama-sama beruntung, dan orang itu bukan cuma bangga, tapi tahu kalau kita kuat untuk di tinggalkan." Sambung Adel.

Nara meneguk ludah, teringat pesan Papa yang nyaris mirip dengan lontaran panjang Adel. Sekilas, ada senyum tipis yang terukir disana. Nara baru menyadari kalau Agatha Adeline, ternyata punya sisi positif yang seperti ini.

"Kata Papa 'ratu gak mungkin nunduk supaya tahtanya mudah di rebut' itu artinya, 'ratu harus tegar, bahunya harus kuat biar terus kokoh dan berdiri sampai titik penghabisan sekalipun rasanya akan mati' yang penting, mahkotanya gak jatuh ke tangan orang lain."

Adel membalas senyuman Nara dengan lontaran kalimat yang masih menyangkut tentang dirinya, "gue gak mau nangis, Papa bisa marah kalau mahkota gue jatuh. Selagi bisa, gue harus kuat." Sambung nya dengan nada bangga.

Adel yang berdiri kali ini ikut duduk  di samping Nara. Menjulurkan telunjuknya, menunjuk tempat paling hangat yang Nara punya. Hatinya. "Gue gak bisa larang lo nangis, Ra. Itu kepunyaan lo, semuanya ada dalam diri lo. Cinta lo, kasih sayang lo, rindu lo. Lo bisa luapin itu semua kalau raga lo, udah gak mampu nampung itu. Karena hati lo, itu milik lo 'kan? Jangan biarin orang lain rebut itu."

Ada perasaan hangat yang menyelimuti keduanya saat Nara menarik tangan Adel, membuatnya menyentuh gundukan tanah makam Papa.

Nara hanya ingin, agar Papa tau.. Kalau kedua Anaknya baru saja menyapa.

***

Evanescent (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang