7. Kedekatan untuk saling tukar kabar

142 20 1
                                    

VOTE DAN KOMENNYA HEHE!
Aku gak bisa janji untuk Update besok,
Tapiiii, aku usahain yaa😁

HAPPY READING!
Semoga kalian suka❤

***

Adel masuk sekolah seminggu kemudian. Dan hal itu kembali menimbulkan tanda tanya terutama teman sekelasnya, karena baru kali ini seorang Adel alpa, eh, tetapi di mana nama Agatha Adeline di absen dan tidak ada yang menyahut, justru mereka saling tatap karena Raffa tiba-tiba mengacungkan tangan dan mengatakan kalau Adel jatuh sakit.

Tiba-tiba sekali? Sejak kapan dua orang yang dulu saling mencaci itu menjadi dekat?

Tapi hal itu terbukti, saat hari ketiga, surat dokter Adel sampai ke sekolah. Ya, setidaknya seminggu itu mereka bisa tenang karena tidak ada kalimat pedas yang menyulut emosi di pagi hari, tidak ada orang yang protes saat pelajaran dan waktu di menit-menit terakhir, Adel justru menahannya hanya sekedar pindah kelompok entah itu kimia, prakarya, ataupun seni budaya.

Bisa di katakan.. 11 IPS 2 bebas.

"Nyokap gue yang rawat Adel waktu sakit." Itu suara Ketryn, kalimatnya tadi membuat Aura dan satu temannya langsung menoleh tertarik. Sedangkan perempuan itu bercermin, merapikan rambutnya anggun padahal sudah sempurna sejak dia keluar dari rumah.

"Dia sakit apa?"

"Mana gue tau?" Kedikan bahu acuh. Oh ya, orang tua Ketryn adalah seorang dokter.

"Dia pura-pura gak sih? Atau beneran sakit jiwa? Perasaan sabtu lalu dia gak apa-apa kan?" Aura, walau dia mungil dan suaranya kelewat lembut, dan juga imut dengan wajah babyface, tapi kalian harus melihat sifat aslinya.

"Jangan gitu, Ra. Kan sakit gak ada yang tau, datangnya mendadak gitu aja," Ivi menambah. Kasihan juga pada Adel yang selalu menjadi bahan olok-olok.

Aura memutar mata. Padahal kalimatnya tadi tidak salah sama sekali.

"Terus, Ryn. Kerja kelompok lo gimana? Udah selesai?" Ivi menambahkan, menoleh pada Ketryn karena Aura terdiam cukup lama.

Anggukan yang Ivi dapatkan, dan sekali lagi Aura menyahut. "Gak usah di tambahin nama Adel, Ryn. Dia'kan gak kerja apa-apa," Ketryn terdiam. Memang benar, mereka datang ke rumah Raffa hanya tiga orang, Adel tidak ada. Tapi di tugas prakarya itu.. Raffa tetap menulis namanya.

Ivi menyenggol bahu Aura lumayan keras. Tidak baik berkata seperti itu, apalagi Adel masuk kelas dengan dua buah roti sobek dan air mineral di tangannya.

Acuh pada sekitar seperti biasa.

"Ngomong gih, Ryn. Biar dia tau diri.."

"Kenapa gak lo aja sih, Ra?" Aura mengerjap, kaget, tak menyangka Ketryn akan membalasnya seperti itu. "Lagian Adel urusan kelompok gue. Kok lo yang ikut campur?"

"Ryn?" Suara Aura mengecil. Tertunduk, Gadis manja-pikir Ketryn muak.

***

Jam istirahat kedua. Adel memilih untuk pergi ke UKS, mengistirahatkan tubuhnya yang akhir-akhir ini cepat lelah. Perempuan itu mengambil minyak kayu putih di atas meja. Mengendusnya, membuat hawa hangat langsung menguar, perasaannya sedikit lega.

Lalu tiba-tiba pintu UKS di buka lebar. Firman-teman sekelasnya itu datang terpogoh-pogoh, menyibak selimut asal yang berjarak 5 meter dari tempat Adel hendak membaringkan diri.

Lantas Lelaki itu kembali keluar. Membopong seseorang yang tadi dia biarkan sendirian di luar. Suaranya yang familiar.

"Akhir-akhir ini lo sering jatuh! Kagak makan lo dari rumah? Letoy!" Suara Firman ketus, namun terselip rasa khawatir pada akhir kalimatnya.

Saat melihat siapa orang yang tengah Firman bopong menuju brankar UKS, Adel segera mengerjap dalam diamnya, membuang wajah asal.

"Khawatir lo? Muka lo lucu, anjir. Kayak bayi koala, Haha," Raffa tertawa, mengalihkan suasana juga karena salah tingkah, dia tidak tau kalau Adel ada disini. Setelah kejadian seminggu lalu, dia sudah tidak bertemu Adel lagi, apalagi sekedar bertanya apa dia sudah baik-baik saja.

"Gak lucu!" Firman menggeplak kepala Raffa kelewat kencang, Lelaki itu nyaris terjungkal pada tepian ranjang. Dia tentu cemas melihat luka besar di kaki Raffa karena jatuh bermain basket. Karena salahnya.

"Lo tunggu sini. Gue panggil anak PMR." Lalu tanpa Adel duga. Firman menoleh padanya, "nitip dulu, Del. Jangan bolehin keluar, nih anak keras kepala."

Lucu. Bibir Raffa berkedut melihat mata Adel yang mengerjap. Anak Lelaki di kelasnya mengajaknya berbicara? Wahh, bisa di katakan itu termasuk tujuh keajaiban Dunia.

Lengang. Bacground suasana UKS hanya di isi oleh teriakan murid dari luar ruangan. Dua remaja itu saling diam-diaman.

"Boleh minta tolong?" Hingga suara bas Raffa terdengar. Adel membalasnya dengan mengangkat wajah sesegera mungkin.

"Ambilin gue kapas-"

"Tunggu Anak PMR aja." Ucap Adel memotongnya. Membuat Raffa berdecak, lukanya sudah kelewat perih. 8 menit, Firman belum kembali juga. Lagipula jika berlama-lama begini, apa yang akan Adel pikirkan? Dia ceroboh. Juga Raffa malu, dulu dia mimisan di depan Adel, dan sekarang jatuh pula.. Nasib.

Adel diam-diam melirik luka di kaki Raffa. Lumayan besar, masih tersisa bekas pasir di sana. Tiba-tiba Perempuan itu berdiri, mengenyahkan pikiran takutnya sesekali, berjalan mengambil kotak P3k di dalam laci meja. Menghela nafas, tangannya bergetar hebat lagi.

"B-biar gue yang obatin," Mungkin karena Adel terlanjur kasihan, dan hatinya juga terbesit sedikit rasa Terima kasih karena kejadian waktu itu. Maka dia berjalan mendekat pada Raffa yang terkejut bukan main.

Sebelum Adel mengambil kursi untuk duduk di dekatnya, Raffa menyela tiba-tiba, "gak usah.. Gak usah, sumpah!" Aneh, padahal wajahnya sudah meringis kesakitan.

"Lo gak suka nyentuh orang. Sekarang mau obatin luka gue? Oh, jangan-jangan-"

Brak!

"Kaget, Anying!!"

Setelah membanting kotak P3k, Adel bisa melihat Raffa menutup telinga dan terlonjak, Perempuan itu menyampirkan rambut di telinga. Berjongkok yang membuat Raffa terbelalak, jantungnya terasa jatuh sampai mata kaki. Adel? Berjongkok di hadapannya anjir!

Lalu dengan kasar, membuka ujung celana Raffa pada mata kaki, lagi-lagi Raffa meringis kelewat kencang. Tidak berperasaan sekali.

Karena Adel tidak menganggap Laki-laki ini ancaman. Dan entah kenapa, reaksinya terlalu berlebihan jika dipikir kembali. Kenapa Adel mau.. Mengobati Raffa, yang notabenenya adalah Laki-laki yang dia benci. Seorang Laki-laki yang membuatnya trauma nyaris tiga tahun.

Adel menekan luka Raffa dengan kapas, membersihkannya dan Laki-laki itu tak henti berteriak kesakitan, semacam siksaan neraka.

"S-sakit! Pelan-pelan!" Gerutu Raffa menutup mata. Memegang kakinya.

"Lo banci?" Rasanya Raffa ingin menendang wajah Adel saking sakit dan perihnya. Oh, atau memukul mulutnya yang seenaknya berbicara.

10 menit. Adel selesai mengobati Raffa saat Firman datang dengan nafas tersenggal, bilang kalau anak PMR banyak kegiatan dan menyuruh Firman yang mengobatinya saja. Dan bersamaan dengan itu, Adel berdiri serta mulut Raffa yang rasanya tidak bisa di kontrol. "Apa kabar?" Tanya Laki-laki itu berdeham.

Adel mundur, tau situasi mendadak rumit karena dirinya yang kedapatan oleh Firman sedang berjongkok di hadapan Raffa.

"Gue rasa, kita gak sedekat itu buat sekedar saling tukar kabar," Alis Adel naik. Kalimatnya menampar Raffa dan Adel tidak peduli akan hal itu. Seolah kejadian beberapa menit tadi tidak terjadi, dan Adel menyesal sudah membantu Raffa mengobati lukanya.

Terenyuh, Raffa rasanya tenggelam pada raut kekecewaan yang kentara. Jadi.. Kejadian waktu itu, Adel tidak menganggapnya apa-apa, dan kenapa pula Raffa terlalu berharap?

Pintu tertutup. Langkah Adel terdengar menjauh dari ambang pintu. Lalu Firman mendekat dengan wajah tanda tanya, menyadarkan Raffa, "Kenapa, lo? Lo apain Adel anjir?!" Laki-laki yang sudah berteman dengan Raffa sejak kelas 10 itu mengguncang bahu Raffa minta penjelasan kayaknya sepasang kekasih yang terlibat masalah.

***

Evanescent (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang