MINAL AIDIN WALFAIDZIN,
Mohon maaf lahir dan batin Guys!
Update lebaran nih😄
Vote dan komennya jangan lupa.
Salam toleransi juga bagi non muslim.HAPPY READING!
semoga suka❤***
"Tapi kan, dia gak salah, Del. Apa salahnya coba kalau kamu mau dengerin penjelasan dia dulu? Setiap hari kamu ngehindar, setiap dia datang kamu ngilang, gimana permasalahannya bisa selesai kalau kamu kekanakkan?"
"Ma, stop. Adel capek-"
"Mama yang capek!"
"MA!" Gertak Adel nyaring. Menggema seisi mobil, membuat nafas memburu Yani tertahan. Bersamaan dengan kendaraan yang mereka naiki berhenti di pelataran rumah sakit.
"Mama gak pernah peduliin Adel selama ini! Jangan sok paling tersakiti karena disini Adel korbannya!" Rasanya kepala Adel hendak pecah, tidak peduli kalau dia memaki Ibu-nya sekalipun. Perempuan itu menutup wajah, memperbaiki letak rambut tergerainya.
"Pokoknya mama gak mau tau, kamu harus berbaikan dengan Melvian," Ujar Yani keras kepala. Wanita paruh baya itu keluar dari mobil, berdiri di sana sembari menunggu Adel keluar. Sedangkan anak Perempuannya itu menghela nafas gusar, bibirnya yang pecah-pecah bergetar, bagaimana caranya mengatakan pada Mama kalau yang Adel ceritakan selama ini bukan bualan?
Yani terlalu berporos pada satu kalimat kalau 'Melvian adalah anak baik-baik', padahal nyatanya tidak.
Adel tau Yani bersikap seperti itu demi kebaikannya, ia tau kalau selama ini Yani bekerja keras untuk menghilangkan trauma Adel. Tapi karena sikap kerasnya, itu semua tertutupi karena Yani selalu menuntut kesembuhan, dia ingin Adel sama seperti remaja normal, remaja yang memiliki kisah asmara semasa SMA, yang menurutnya itu adalah masa yang terbaik.
Tapi Yani sedikitpun tidak tau kalau dengan sikap egoisme nya yang memaksa, Adel tersiksa. Anaknya tidak semampu itu untuk segera menerima, Adel masih lemah.
Karena itu Adel keluar dari mobil, memaksa untuk mengikuti Ibunya yang sudah berjalan di lorong rumah sakit yang lumayan padat. Mati-matian agar rasa takut, getaran tangannya yang berlebihan, dan ritme jantungnya yang tak biasa tidak terbaca oleh Yani, dan Perempuan paruh baya itu akan meledak nantinya.
Dengan nafas sedikit tercekat, Adel merapal dalam hati, berbisik, "andai Papa disini.."
Beberapa meter melangkah, dan di menit serta detik menegangkan karena Yani tak kunjung bersuara.
Hingga perempuan itu memilih singgah di toilet, menyuruh Adel ke ruangan Dokter Vania terlebih dahulu. Hari ini jadwal Adel bertemu dengan dokter yang hampir setahun penuh merawatnya itu, sekedar bertanya-tanya dan konsultasi kondisi Adel, juga memberikan obat penenang yang seminggu lalu baru saja habis.
Pintu toilet wanita tertutup lumayan keras. Yani masuk masih dengan emosi, marah-marah karena mengatakan Adel terlalu keras kepala.
Sedangkan Adel memejamkan mata. Harusnya dia sudah bisa memahami kalau Ibunya itu memang memiliki watak seperti ini, tak bisa di bantah dalam berpendapat. Jadi, karena lelah menjadi bahan bentakan sedari tadi karena argumen yang Adel lontarkan tidak di setujui, Perempuan dengan balutan cardigan rajut putih itu melangkah ke arah cermin didepan bilik toilet yang Ibunya masuki.
Dia menatap pantulan dirinya yang akhir-akhir ini.. Jauh lebih baik.
"Ma.." Ucapan Adel bersamaan dengan desir air kloset. "Adel bakal ketemu Melvian," Ucapnya yakin.
"Mama gak usah marah-marah lagi." Mungkin karena dirinya sedikit merasa.. Kalau trauma itu pasti akan benar-benar lenyap nantinya. Adel harus bisa melawan.
***
Masih dengan seragam sekolah, setelah selesai bermain basket dan bertemu anak-anak ekstrakurikuller seni, serta berbincang nyaris 2 jam disana. Raffa memilih singgah di rumah sakit, dan belum mengabari Syifa sedikit pun, hanya alasan untuk kerumah Firman sekedar bermain gitar.
Selesai memarkirkan motor di pelataran rumah sakit yang sedikit ramai. Lelaki itu memantapkan langkah, hendak menemui Dokter yang dulunya sempat menjadi dokter keluarganya tiga tahun lebih. Namanya, dokter Nuca, berusia nyaris 30 tahun, tampangnya juga masih muda.
Dan disinilah dia berada, duduk di kursi berhadapan di batasi meja berisi berkas-berkas, jam mini, beberapa figura penghargaan, serta alat-alat rumah sakit yang Raffa tak tau namanya apa.
Sementara Dokter Nuca berdiri membelakangi dengan selembar kertas di tangannya, beberapa kali memperbaiki kaca matanya yang melorot, sudah selesai memeriksa Raffa beberapa menit yang lalu, helaan nafas yang keluar dari mulut Lelaki itu entah kenapa.. Raffa rasa bukan masalah sepele.
Jari Raffa di remas kuat, tidak berani bertanya, hingga deritan kursi terdengar, di susul Dokter Nuca yang menatap Raffa dalam.
"Dulu, saya pikir setelah beberapa kali memeriksa kamu karena sakit saat kamu masih kelas 8 SMP itu hanya kecerobohan kamu saja, sering terkilir, jatuh dari sepeda. Saya juga tidak sampai berpikir untuk melakukan pemeriksaan lanjut dengan alat medis yang lebih memadai," Dokter Nuca melepas kacamatanya di atas meja, juga tangannya yang bertengger terlihat lebih rileks, topik masuk ke inti yang lebih serius begitu Dokter Nuca memajukan sedikit wajah serius.
"Sudah berapa lama kaki dan tanganmu sering mati rasa?" Tanyanya.
Raffa menelan ludah, memikir, "kurang lebih 3 minggu," Jawabnya tak yakin.
"Mama dan Papamu sudah tau kan? Bagaimana dengan Kakakmu?" Pertanyaan itu membuat Raffa tertunduk, menggeleng. Dan itu cukup membuat dokter Nuca terkejut.
"Bisa jadi mereka tau, Raffa. Coba satu atau dua kali, kamu ceritakan kenapa kamu sering jatuh atau memecahkan barang di rumah,"
"Sebenarnya kenapa, Dok?"
"Kamu pernah mengalami kecelakaan atau jatuh sampai cidera kepala? " Dokter Nuca berdeham, tau ada yang salah dari kalimatnya karena wajah Raffa yang berubah, dia menipiskan bibir, "maaf." Ucap Dokter Nuca dengan rasa bersalah.
"Pernah," Raffa menjawab gusar, "saat itu saya masuk ruang operasi, terkena benturan keras sampai cidera kepala berat."
Saat itu, seperti mendapat pencerahan darimana, Dokter Nuca berkata yakin, "tidak salah lagi, selain faktor keturunan, kamu juga punya cidera kepala yang serius waktu itu,"
"Faktor keturunan?"
"Saya akan jelaskan, Raffa. Tapi berjanji dulu, setelah ini kamu harus mengatakan yang sebenarnya pada keluarga kamu, dan hadir di setiap jadwal pertemuan saya yang nanti saya buat. Bagaimana?"
Mata Raffa meredup, "saya tidak bisa berjanji untuk poin pertama, Dok. Tapi nanti saya usahakan." Dia menjawab kelewat pelan, merasa bersalah. Jarinya di pilin sampai kemerahan. Hingga Dokter Nuca menyodorkan berkas hasil pemeriksaan yang tadi dia baca dihadapan Raffa.
"Kasus ini sangat langkah, apalagi anak seumuran Kamu yang mengalaminya," Dokter Nuca menjeda kalimatnya, seolah takut serta lanjutan berikutnya dengan nada cemas. "Kamu tau dengan penyakit Ataksia?"
***
Nanti aku jelasin tentang Ataksia ya, baca aja terus biar paham. Kita belajar sama-sama❤
KAMU SEDANG MEMBACA
Evanescent (END)
RandomTentang lelaki pengidap penyakit ataksia yang bertemu dengan perempuan pemilik trauma masa lalu. *** Adel benci di sentuh laki-laki. Adel tidak suka menjadi lemah. Adel lelah tidak menjadi diri sendiri, selalu ke psikiater. Dia benci punya penyakit...