AKU UPDATE LAGI HUHU.
Tinggalin vote, gak usah komen juga gak Papa🙂
Kalau ada komen nunggu next lebih baik lagi. Aku langsung gercep update walau padatnya jadwal kuliah.HAPPY READING❤
Semoga suka yaa
***Firman memang tau Raffa adalah orang yang paling rajin jika menyangkut basket, ruang seni, dan gitar. Makanya dia dengan girang menunggu kedatangan Lelaki itu saat wajahnya melongok di pintu ruang seni. Mereka janjian bertemu, katanya untuk membicarakan sesuatu.
"Woi, Raf!" Raffa mendekat, langkah nya malas.
"Buset, lo orang atau mayat hidup? Pucet banget," Firman terkejut melihat Raffa yang tidak ada semangat-semangatnya. Suara Lelaki itu mengalihkan atensi sebagian adik kelas yang tengah melukis, Firman disuruh untuk menjaga kelas mereka, takutnya banyak yang membolos.
"Kenapa?" tanya Raffa, menarik kursi. Melihat sekeliling ruangan. Ada sekitar 10 siswa dan siswi di ruangan itu, melanjutkan lukisan mereka yang tertunda minggu lalu.
Di ujung ruangan, ada satu piano berdebu, gitar listrik yang di gantung. Sedang di sisi lemari, ada gitarnya yang kemarin dia sumbangkan untuk sekolah, Raffa sudah tidak butuh. Padahal setahun lalu, Raffa rela tidak jajan tiga bulan lebih demi benda keren tersebut. Lelaki itu mengulum senyum miris.
"Kata pak Jagat, latihannya di tambah. Empat kali seminggu. Gue cuma mau minta persetujuan lo lagi. Yang lain udah setuju." Firman nyengir, menepuk punggung Raffa. "Lo gak keberatan, kan, Raf?"
Firman tengah berbicara tentang basket, yang akhir-akhir ini Raffa hindari.
"Soalnya. Minggu depan udah turnamen, pak Jagat mau mastiin kalau kita bener-bener udah siap." Sambung Firman lagi.
"Gue keluar aja gimana?" Mendengar kalimat pertanyaan itu sukses membuat Firman terkejut.
"HAH? seriusan lo?" Beo Firman seakan tidak percaya. Dia menatap Raffa seolah-olah menunggu kalau kalimat sahabatnya itu hanya bualan semata.
Raffa nampak menimang-nimang. Memangnya orang bodoh mana yang tidak suka dengan basket? Tapi Raffa harus apa jika sudah..
"Bilangin pak Jagat ya, Fir. Gue keluar, hari ini gue gak ikut latihan lagi." Dan akhirnya hanya itu yang bisa Raffa katakan saat hendak beranjak, tapi Firman menahannya dengan kesal, sekaligus terkejut karena keputusan itu.
"Gak! Gue gak setuju! Lo apa-apaan, sih, Raf?" Nada Lelaki itu naik satu oktaf. Tangannya meremas lengan Raffa dengan keras. "Lo kalau ada apa-apa cerita sama gue! Jangan mutusin hal yang enggak-enggak!"
"Gue cuma mau keluar kenapa lo yang sensi, sih?" Salak Raffa menghentak tangan Firman. Suasana tegang itu kembali menyita perhatian yang lain, kepala mereka serentak menoleh pada dua orang di ambang pintu.
"Alasan lo keluar kenapa gue tanya?!" Tanya Firman dengan urat menonjol di lehernya.
"Jawab gue, bangsat!" Firman menarik kerah seragam sahabatnya itu karena kesal tidak mendapatkan jawaban. Tatapan mereka bertemu, membuat Raffa sedikit kesulitan bernafas. Dia menarik tangan Firman dengan kuat, membuat Firman mundur dengan nafas tidak beratur karena amarah.
"Gue gak suka lo ikut campur." Ucap Raffa dengan nada ketus. Kemudian kepalanya menoleh, menatap siswa-siswi yang menatap mereka. Memanggil salah satunya, "Nindya,"
Si pemilik nama menegang. Takut-takut menatap Kakak kelas di depannya yang baru saja berseteru, "I-iya, Kak?" Tanyanya terbata. Dia takut melihat Firman yang nampak hendak meledak.
"Di sana ada lukisan gue, lo lanjutin mau 'kan?"
Firman lebih terkejut lagi. "Raffa!" Tegurnya keras. Menatap gantian lukisan tangan Raffa yang masih setengah di samping kursi.
Padahal Lelaki itu mengatakan akan menjualnya di pameran demi membantu bayaran UKT Syifa.
"Mau 'kan, Nindya?" Tanya Raffa mengindahkan bentakan Firman. Menatap Adik kelas itu memohon.
"I-iya, Kak."
Senyum tipis Raffa terulas. "Gue tau lo bisa," Ujarnya terakhir kali sebelum akhirnya berlalu keluar ruangan, membuat Firman mengejar langkah tergesanya.
Firman jadi tidak habis pikir. Kenapa semua yang dia tau berharga bagi Raffa, harus di lepaskan?
***
"Raffa kenapa, sih, Del?!"
Adel terlonjak. Minuman di tangannya nyaris tumpah. Susu di kerongkongannya di paksa kembali di telan sebelum akhirnya dia menoleh, menemukan Firman berdiri dengan jarak dua bangku di depannya. Lebih tepatnya, Lelaki itu berteriak di ruang kelas yang sepi. Hanya ada mereka berdua disana.
"Apa?" Tanya Perempuan itu setelah meredakan kagetnya beberapa detik.
"Gue tanya sama lo, Raffa kenapa?"
Adel mengerut. Sekilas tidak peduli, kembali menoleh kedepan, membaca buku. "Ya mana gue tau," Dengus Gadis itu. Acuh.
"Lo gak sadar kalau Raffa gak masuk kelas dari jam pertama?" Firman sudah duduk kembali di kursinya. Menatap luar jendela dengan tatapan kosong.
Bahu Adel menegang. Dia tidak tau. Kemana saja dia? Kenapa dia melupakan Raffa?
"Dia dimana?" Adel membalik kursinya kesamping. Lebih tepatnya agar terlihat lebih menghargai Firman yang berbicara.
"Kalau gue tau gak mungkin gue nanya lo," Kali ini gantian Firman yang mendengus. Dengusan terlanjur jengkel. "Dia aneh banget gila!" Sambungnya lagi dengan geraman tertahan.
"Lo tau, Del? Masa gak ada angin gak ada ujan, dia langsung keluar dari tim basket. Gitar kesayangannya! Itu gitar kesayangannya loh! Kenapa pake di sumbangin segala!" Jengkel Lelaki itu lagi, menggaruk kepalanya bingung. Dia baru saja menyadari itu.
Adel mengerut sesaat. Sebelum akhirnya paham. Dia biarkan saja Firman mengeluarkan unek-uneknya tentang Raffa.
"Lukisannya juga," Wajah Firman merah padam waktu mengatakan itu. Seperti hendak menangis. "Gue tau dia buat itu penuh tenaga, kok di kasih ke orang cuma-cuma?!" Teriak Lelaki itu mengundang atensi pejalan kaki di Koridor sebelum berlalu lagi tidak peduli.
"Del, gue minta tolong lo boleh gak?" Mendengar itu Adel terkejut, tapi masih lebih terkejut saat Firman tiba-tiba berteriak seperti tadi.
"Apa?" Ini perdananya dia di beri kepercayaan seperti ini.
"Coba lo bicara baik-baik sama dia. Bilang kenapa dia tiba-tiba gitu. Soalnya kalau gua yang bicara, terlanjur emosi gue." Pinta Firman menggebu-gebu.
"Kalian pacaran kan, ya? Gue tau dia kayak gitu pasti ada hubungannya sama lo." Sambungnya asal-asalan. Bersamaan dengan itu, Bel tanda masuk pelajaran ketiga berbunyi.
Adel termangu beberapa detik, memperhatikan Firman yang kesal memanjangkan kakinya, bersiap tidur.
Setelahnya beberapa teman sekelasnya masuk kelas. Duduk di bangku masing-masing. Adel melihat Ketryn dengan girang melangkah ke arahnya, melambai tangan dan Adel segera mengatur kursinya keposisi semula. Pikirannya berkelana.
Bahkan sampai guru Matematika memasuki kelas, Raffa tidak ada tanda-tanda akan masuk. Adel menjadi semakin khawatir.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Evanescent (END)
De TodoTentang lelaki pengidap penyakit ataksia yang bertemu dengan perempuan pemilik trauma masa lalu. *** Adel benci di sentuh laki-laki. Adel tidak suka menjadi lemah. Adel lelah tidak menjadi diri sendiri, selalu ke psikiater. Dia benci punya penyakit...