8. KAKAK GUE GAK PERNAH SALAH

234 27 11
                                    

UPDATENYA MALAM HAHA😁
Seperti biasa, vote dan komen yaa.
Partnya Syifa sama Raffa dulu..

HAPPY READING!
Semoga suka❤

***

"Iya, Pa. Siap! Papa juga jaga kesehatan disana," Syifa senyum-senyum sendiri, menahan haru yang sebentar lagi meledak pada kelopak mata lentik miliknya.

"Nanti aku sampein ke Raffa. Papa istirahat aja, yaa!" Setelah sambungan telfon terputus dan Papa mengatakan sudah mentranfer uang di rekening milik Syifa. Barulah Perempuan itu menghela nafas, menengadahkan kepalanya agar air mata itu tak tumpah ruah.

Rindu, sangat.

Prang!

Syifa terlonjak, sesegera mungkin berlari keluar kamar. Melempar ponselnya ke atas kasur empuk. Mencari asal suara, takut ada orang yang berniat jahat. Namun sebelumnya dia memeriksa kamar Raffa yang kosong dan berantakan, penghuninya sedang tidak ada. Langkahnya cepat menuruni setiap anak tangga, lalu sampai pada dapur di mana Adik Lelakinya sedang nyengir rasa bersalah.

Beling piring berserakan disana.

Raffa menggaruk kening, "gak sengaja, sumpah," ucapannya membuat helaan berat Syifa keluar. Lelaki itu sudah berjongkok, memunguti pecahan kaca bekas piring yang hendak dia isikan nasi goreng.

Syifa itu tipikal orang yang bodo amat pada sekitar, karena itulah saat Raffa melihat Kakaknya itu ikut berjongkok, Raffa terkejut, hatinya menghangat.

"Ini udah barang yang ke berapa yang lo pecahin?" Ucapnya ketus, dan lagi-lagi Raffa mengeluarkan cengiran khasnya. "Sembilan..?" Ucapnya mengingat-ngingat.

"Dua belas, Raf." Entah sebuah nada ke khawatiran yang tidak pernah Syifa utarakan, tapi Kakaknya ini berbanding terbalik dengan Syifa yang dulu Raffa kenal. Syifa terlihat lebih peduli, sampai-sampai menghitung semua perbuatan yang Raffa lakukan karena kecerobohannya.

Syifa mengikat kresek putih berisi pecahan beling tersebut. Posisi mereka masih sama-sama berjongkok, hingga Syifa duduk, menyentuh kaki Raffa yang di balut perban, "lo jatuh lagi padahal luka dulu belum sembuh," Ujar Syifa datar, kelewat datar hingga bisa menyembunyikan rasa cemas nya. Menilik bekas luka di bawah mata Raffa saat jatuh dari motor.

"Gak papa, Kak. Gue kebal," Raffa membusungkan dada, berkata sombong membuat Syifa mendengus kasar. Mendorong kaki Raffa kesal.

"Gue gak tau lo itu ceroboh, sengaja buat ulah biar gue peduli. Atau ada hal lain yang lo sembunyiin," Air muka Raffa seketika berubah mendengar kalimat itu. Syifa mengangkat bahu acuh, "kalau lo lupa. Gue masih Kakak lo, lo bisa cerita apapun, Raf. Gue gak kunci kamar, kalau mau masuk, masuk aja." Syifa berdiri, menepuk bahu Raffa yang terlihat tegang, tidak bergerak selain kepalanya yang mendongak sedikit menatap Syifa. Apa yang dia tau?

Lalu punggung Kakaknya itu hilang bersamaan derap langkah nya menaiki setiap anak tangga di rumah sunyi itu.

Raffa menatap kosong kakinya, tidak terasa, tidak bisa dia gerakan. Karena itulah dia belum beranjak, belum bangkit setidaknya sampai 10 menit dan disitu pikirannya sudah mulai mencerna apa yang terjadi. Apa Raffa harus ke dokter?

***

Syifa bukan Kakak kandung Raffa. Bukan, maksudnya, ya. Syifa sudah menyanyangi Lelaki itu, sangat. Tapi jika mengingat hal itu, Syifa sakit, dia iri pada Raffa.

Maka dari itu, setelah Syifa mengatakan itu, dia merebahkan tubuh pada kasur empuknya, memindahkan ponsel yang dia tindih sembarang arah. Memijat pelipis, tidak tau harus bagaimana. Pintunya di ketuk, Raffa berdiri disana, berbicara sepatah dua kata kalimat, "Kak.. Gue tidur duluan. Pintu kamarnya kunci aja.."

Rasanya Syifa ingin menangis melihat sifat Adik yang dulu paling di bencinya itu, kenapa dia egois? Memilih membenci Raffa yang tidak tau apa-apa?

"Kak.. Ayo tidur bareng Raffa! Mama mau baca dongeng tidur,"

"Gue gak mau."

"Kenapa? Kakak sendirian disini kan? Ayoo sama Raffa aja,"

"Lo gak punya kuping, Raf?" Syifa ingat saat dia membuka pintu dengan wajah separuh bengkak, matanya merah, habis di marahi Mama karena telat pulang sekolah, padahal orang rumah tak pernah menjemputnya.

"Kakak kenapa?"

"Gak usah sok peduli! Lo sengaja kan ajak Mama pergi ke taman biar lupa jemput gue? Itukan yang lo mau?" Bentakannya teramat keras, wajah lugu Raffa berubah, anak itu mundur, menunduk.

Dan Syifa membanting pintu.

Harusnya dia tau kalau Mama memang tak berniat menjemputnya setelah menginjakkan kaki di sekolah menengah pertama. Harusnya Syifa tak benci Raffa karena ulah Mama yang seenaknya, tapi kan.. Syifa juga butuh kasih sayang seorang Mama, Syifa juga ingin minum susu buatan Mama.

"Ayamnya buat Raffa aja, Syifa. Kamu kan Kakak, harus ngalah sama adik. Ini Mama buatin kamu telur mata sapi," Tapi kan.. Ayam hangat sore itu di belikan Papa untuk Syifa, dan Raffa mengambilnya.

Karena terlanjur benci, dan Syifa hanya menangis. Malam itu Raffa datang dan memohon di balik pintu, "kak.. Raffa punya ayam goreng, makan bareng yuk," Dan lagi-lagi, Syifa berteriak membuat anak Lelaki itu mundur, takut.

Setitik air mata jatuh dan Syifa tidak langsung menghapusnya, membuatnya mengalir membasahi sprei berwarna putih tersebut. Perempuan yang berusia nyaris 20 tahun itu menggigit bibir kuat, menahan isakan.

"RAFFA!" Di sela tangisnya, Syifa berteriak dari kamarnya yang berseberangan dengan kamar milik Raffa. Beberapa detik, hingga Raffa menyahut, "KENAPA??" Membuat Syifa terkekeh karena suara bas Adiknya yang kelewat lantang.

"MAAFIN GUE, YA!" Jeda, saat Syifa hendak bersuara kembali, Raffa sudah menjawab.

"KAKAK GUE GAK PERNAH SALAH, SIH!" Mendengar itu, Syifa makin menangis, tidak balas berteriak lagi, dia menutup wajah dengan telapak tangan. Membenamkan isakan nya agar tak seorangpun yang mendengar.

***

Evanescent (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang