47. Permintaan Raffa

140 11 0
                                    

UPDATE LAGI
Vote dan komennya lagi, seperti biasa🤗

HAPPY READING!
Dan semoga suka❤

***

Kamar rawat Raffa setiap paginya hanya ada sesak, sunyi, gelap. Sama seperti pasiennya. Dulu, masih sekitar dua bulan di rawat, Raffa masih leluasa bergerak kesana-kemari, memporak-porandakan lemari, memainkan saluran televisi, menyibak gorden karena kegerahan, lantas mencari kemana hilangnya remote AC.

Tapi sekarang sudah berbeda dengan dulu. Bisa mengatur posisi tidur berbalik saja Raffa sudah sangat bersyukur. Boro-boro ingin minum dan menjulurkan tangan, Raffa hanya bisa mengamati  gelas yang tersampir disisi tubuh, di atas nakas. Ludahnya ditelan beberapa kali. Raffa kehausan, tapi jika dia memanggil bantuan lagi, ini bisa jadi yang ke sepuluh kali.

Sampai yang bisa laki-laki itu lakukan adalah termenung. Berdiam diri bak orang bisu. Menatap langit-langit ruangan. Untung penyakitnya hanya mengambil alih sebagian fungsi tubuhnya. Bagaimana kalau mata Raffa tiba-tiba juga tidak bisa bergerak? Mati aja, nyusahin.

Iya, Raffa mati saja. Nyusahin Mama, Papa, sama Kak Syifa terus.

Untuk waktu yang cukup lama berdiam diri. Raffa biasanya tiba-tiba menangis. Katakan saja dia cengeng, penyakitan, lumpuh, gak mati-mati lagi.

"Udah gak sanggup." Laki-laki itu melirih, tertawa pedih. Semua rasanya bercampur jadi satu. Raffa bukan hanya sekali merasa lelah dengan hidup. Jika dihitung, mungkin mencapai ribuan kali, sehari sekali.

Pintu kamar rawat Raffa tiba-tiba diketuk. Si Lelaki mengerjap, berusaha menghilangkan bekas air mata, menoleh sedikit. Hanya sedikit, tapi sakit. Leher Raffa rasanya akan patah.

Rutinitas minggu pagi. Adel datang dengan senyum cerah.

"Pagi, ganteng." Sapanya.

Raffa tersenyum, senyum sisa tangis yang mengjengkelkan. Raffa lupa, dia juga selalu menyusahkan Adel. Oke, keinginan untuk mati bertambah 10 persen lagi.

Si cewek dengan harum bunga itu tidak langsung menuju tempat Raffa berbaring. Melainkan membuka tirai transparan yang menghalangi matahari pagi. Lalu menoleh pada Raffa dengan senyum lebih cerah lagi.

"Udah bersih-bersih?"

"Udah sama Mama."

Adel angguk-angguk, menarik satu kursi disisi si pacar.

"Udah makan?"

"Udah Adel..." Sepertinya Raffa perlu bersyukur karena diberi pacar perhatian.

"Udah minum?"

Raffa tertawa, "mau minum lagi. Minta tolong boleh?"

"Oh dengan senang hati ganteng." Adel telaten menuang air dalam gelas. Menekan tombol belakang brankar. Raffa otomatis duduk. Adel menarik tangan Raffa untuk menggenggam minuman erat, Adel tahu jejemarinya kaku, makanya Adel jadi perantara. Melihat minuman yang Raffa minum tandas sampai setengah, perempuan itu terdiam sejenak, mengamati wajah Raffa.

Gelas berisi air putih kembali disimpan pada tempatnya.

"Raf, lo berharga tau." Celetukan Adel yang tiba-tiba membuat Raffa terdiam, seperti ada sengatan semangat yang ditancapkan dalam tubuhnya, Adel perantaranya.

"Masih banyak orang yang sayang sama lo. Lo gak boleh sedih. Oke?"

Raffa terpekur. Debaran jantungnya berirama tak karuan. Seolah-olah Adel bisa membaca isi pikirannya.

Evanescent (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang