TINGGALKAN VOTE DAN KOMEN GUYS😁
Makin semangat update karena
Dukungan kalian!HAPPY READING!❤
Semoga suka.***
"Mama punya kenalan, Del. Dia ada anak laki-laki, seumuran sama kamu."
Denting sendok Adel terhenti, Perempuan itu menyimpannya di atas piring yang berisi potongan daging, belum tersentuh sama sekali.
"Adel gak minat, Ma." Ucap Adel datar. Menuang segelas air, meneguknya.
"Kamu bisa kenalan dulu, saling cerita, jalan bareng. Lama-lama juga bisa deket." Mama tersenyum lembut. Yang justru Adel bisa simpulkan, Wanita di hadapannya punya maksud terselubung.
"Mau, ya?"
Ada helaan nafas berat yang keluar dari mulut Adel. Helaan lelah karena Mama nya selalu menganggap Adel baik-baik saja, padahal tidak.
"Mama lupa?"
"Ya, karena itu, Nak.. Mama gak mau kamu kayak gini terus. Udah hampir setahun, Mama udah gak bisa sabar."
"Mama yang gak sabar justru buat kondisi Adel makin buruk. Bisa gak sih-" Kalimat Adel terhenti karena di detik kelima, Adel memilih menutup mata, menggeleng kelewat capek, "-bisa gak sih, Mama ngerti sekali aja sama Adel?"
"Ya justru Mama yang nanya, Del! Bisa tidak kamu satu kali melawan ketakutan kamu?!" Yani-Ibunya itu membalas dengan bentakan, memegang keningnya yang mendadak pusing.
"Mama udah cukup sabar lihat kamu bolak-balik ketemu Dokter Vania. Mama juga selalu berusaha biar kamu bisa terima namanya laki-laki. Mama juga bisa lelah cari uang untuk biaya pengobatan kamu!"
"Ma-"
"Apa yang Mama gak kasih untuk kamu, Del? Waktu Mama habis di kamu saat kamu teriak gak jelas karena depresi! Mama ikut sakit liat kamu selalu main piano berjam-jam untuk hilangin rasa takut kamu!"
"Sampai berapa kali Mama bilang, kalau semua laki-laki itu gak sama."
Yani berdiri dari kursi makannya. Berusaha meredamkan amarah dengan pergi dari sana. Menyisakan ruang sunyi dan Adel yang terdiam dan tertohok karena perkataan Ibunya barusan. Perempuan itu meremas gelas kaca, awalnya hanya timbul sedikit retakan, lalu perlahan pecah. Belingnya Adel remas kuat. Membuat kepalan tangannya menetes satu persatu darah.
***
"Baru satu hari, lo udah nyusahin aja?" Ketus Syifa, melilit perban pada lengan Adiknya yang sudah di baluri obat luka.
Lalu perempuan berusia nyaris 20 tahun itu mengambil kain yang sudah di rendam dalam loyang berisi es batu. Membantu mengompres wajah bonyok Raffa.
"Lo bawa motor nutup mata sampe gak lihat jalan, Hah?!" Lagi dan lagi, Syifa mengomel tapi tetap melanjutkan pekerjaan mendadaknya. Mengurus Raffa yang jatuh dari motor.
"Yakali gue gak lihat jalan, Kak. Gue masih mau hidup kali."
"Ya masalahnya tumben-tumbenan lo jatuh kayak bocah yang baru belajar naik motor."
Raffa menggaruk keningnya. Pusing jika berbicara dengan Syifa yang jika sudah berbicara, akan sampai satu abad.
Lagipula jika Raffa mengatakan dia jatuh dari motor karena tangannya yang tiba-tiba melemas seperti mati rasa, dan pusing yang mendadak tiba-tiba, Kakaknya itu tidak mungkin percaya. Itu termasuk alasan yang tidak masuk akal karena Raffa terlihat sehat-sehat saja.
Sembari menahan nyeri bekas kompresan, Raffa menilik seisi rumah yang keadaannya masih sama. Tapi sudah terasa berbeda, biasanya akan ada Papa yang duduk selonjoran di karpet sambil mengajak Raffa bermain PS saat dia pulang sekolah.
Lalu Syifa datang dengan wajah memberenggut, mengatakan jika dia sedang datang bulan. Dan Papa akan langsung gercep mengambil kunci motor, pergi membeli makanan atau es creame agar mood Syifa membaik.
Ah, baru satu hari. Tapi Raffa sudah sangat rindu. Apa Papa pergi ke kampungnya menemui Kakek? Entahlah.
"Kak.." Syifa membalas panggilan Raffa dengan dehaman. "Kita sekarang cuma berdua?"
Tangan Syifa di wajah Raffa terhenti. Lama terdiam, lalu perempuan itu menjawab tanpa beban. "Ya, kita cuma punya satu sama lain." Tapi Raffa yakin, Syifa seribu kali lebih merasa kehilangan di banding dirinya.
"Mama tadi udah ambil barangnya. Katanya dia mau nginap di butik beberapa hari."
"Salah Papa apa sih, Kak? Salah kita apa..?" Raffa tertunduk. Lebih susah menahan cairan bening di pelupuk matanya agar tak keluar daripada nyeri karena lebam kebiruan di bawah mata coklatnya.
***
"Del, lo ngerti gak, sih?" Masih pagi-pagi buta. Tapi sambutan dari si primadona sekolah membuat langkah Adel tertahan di ambang pintu kelasnya.
Seperti biasa. Adel perlu membuka headset di telinga lalu menatap wajah cantik ketryn yang di baluri bedak tipis.
"Hari ini kita kumpul di rumah Raffa, jam 4 udah harus di sana." Ucap ketryn berusaha ramah untuk sekali itu lagi, mengajak Adel kerja kelompok.
"Lo bodoh, atau udah kelewat goblok, ya?"
Mata ketryn terbelalak. Dirinya nyaris tersedak ludah sendiri. Selain netranya yang tajam, mulutnya juga lebih menusuk daripada belati yang selesai di asa. Siapa lagi kalau bukan Agatha Adeline.
"Perlu berapa kali gue ngomong sama lo kalau gue gak ikut. Kenapa? Tuli lo?"
"Seenggaknya kasih kami alasan, Del! Lo lari dari tanggung jawab!"
"Emang tugas itu gak selesai kalau gue gak ikut?" Sarkas Adel. Mendorong Ketryn yang menghalangi jalannya. Membuat langkah Ketryn mundur. Tetap kekeh pada tempatnya berdiri.
"Kasih alasan! Kami nuntut itu!"
"Kalau Raffa dan Firman gak ada, gue baru ikut. Puas lo?" Dengan suara lantang, Adel berkata serta mengambil langkah berbalik, tidak jadi masuk kelas. Moodnya memburuk tiba-tiba.
Membuat Ketryn termangu. Berdecak malas, "tuh anak ada dendam kesumat apa sih sama yang namanya laki-laki?" Kata Ketryn mendumel.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Evanescent (END)
SonstigesTentang lelaki pengidap penyakit ataksia yang bertemu dengan perempuan pemilik trauma masa lalu. *** Adel benci di sentuh laki-laki. Adel tidak suka menjadi lemah. Adel lelah tidak menjadi diri sendiri, selalu ke psikiater. Dia benci punya penyakit...