YEY UPDATE SETELAH SEKIAN LAMA.
Vote dan komennya!
Seperti biasa di tagih HAHA😄HAPPY READING!
Semoga suka❤***
Istirahat pertama. Di bangku depan, Adel menghembuskan nafas berat, bosan membaca buku latihan soal kimia, dia membuka ponsel, mematikan musik yang terhubung di earphone, menarik satu dari telinga kiri. Merapikan rambut lurusnya yang tergerai.
Selain tidak peduli dengan teman sekitar, serta suara berisik mereka yang mengalahkan gerombolan kicauan burung. Jauh di dalam lubuk hatinya, Adel kesepian, dia ingin juga punya teman sekelas seperti yang lain untuk diajak mengobrol. Untuk menemaninya jika ke kantin, untuk menggandeng tangannya dan menjadi tempat keluh kesah ketika dalam masalah dan amukan pikirannya seperti sekarang ini.
Tapi Adel tidak mau mengakui, dia memendamnya dalam-dalam. Dia punya Nara, Perempuan sedikit tomboy itu walau tidak satu sekolah dengannya.
Karena merasa enek dan ingin memenangkan pikiran, Adel hendak ke ruang seni. Setaunya, disana ada piano Extracurriculer musik yang di titipkan karena ruangan yang penuh.
Sebelum melangkah keluar, Adel melirik sekitar yang punya kesibukan masing-masing, sebagian siswa kelasnya sedang mengisi perut di kantin, jadi tidak terlalu berisik dan Adel merasa aman, maka Perempuan itu menarik obat dari dalam tas-nya, mengambil sekitar tiga butir, lalu meminumnya secepat mungkin tanpa air.
Lantas berdiri, langkahnya berderap keluar kelas. Ketryn yang dari tadi mengawasi gerak-gerik Adel memutar mata jengah, tidak ada ekspresi di wajah cantiknya itu.
***
Pertama kali Adel menginjakkan kaki pada tempat tujuannya, sambutan aroma asap rokok mengudara, langsung membumbung menusuk hidung, membuat wajahnya pias, sebisa mungkin mengambil banyak nafas, mengira jika banyak anak Laki-laki yang sedang menghabiskan waktu bercengkrama di ruang seni. Padahal hanya satu, dan alis Adel bertaut bingung saat indra penciuman nya menangkap jelas aroma lain, bau minuman beralkohol.
Sial.
Dengan tergesa-gesa, Perempuan itu menarik knop pintu, menutup, dan langsung menguncinya. Lalu dengan nafas memburu menarik botol minuman yang berada pada tangan Lelaki dengan wajah tengkurap tersebut. Wajahnya mengenaskan saat dia mengangkat wajah begitu mendengar suara pecahan kaca, Adel membantingnya, menatap Lelaki itu tajam.
"Apa-apaan lo?! Mau masuk ruang BK? Mau di scorsing? Atau mau di keluarin dari sekolah?!" Sarkas Perempuan itu dengan nada tinggi.
"Capek," Satu kata itu membungkam Adel. Membuatnya menatap netra coklat itu yang tidak secerah biasanya. Terlihat redup, tidak ada kehidupan. Padahal baru beberapa hari yang lalu Adel melihatnya bermain basket bersama Firman.
"Hidup itu nyusahin. Tapi gue yang bilang mampu sama Tuhan, kan?" Kata Raffa lesu, kepalanya tidak terangkat dari meja berisi beberapa lembar lukisan-lebih tepatnya gambaran abstrak yang Adel tidak tau artinya apa.
"Balik ke kelas. Bentar lagi bel," Adel berusaha tidak peduli. Dan juga, dia tidak mau ikut campur dan masuk dalam masalah orang lain. Maka perempuan itu berbalik, hendak pergi, namun tangan lunglai Raffa menarik nya, lemah sekali, dan Adel menghela nafas prihatin. Entah apa yang terjadi pada Lelaki ini.
Dia menatap wajah Raffa yang merah, efek minuman, juga wajahnya yang terlihat pucat, lesu dan tak berdaya. Adel tidak bisa menyimpulkan kalau Lelaki ini sudah benar-benar mabuk walau pembicaraannya sudah melantur ke mana-mana. Maka Adel memilih menetap, membiarkan pegangan kuat Raffa pada lengannya yang lebih kecil. Menghela nafas berkali-kali.
"Gue gak punya siapa-siapa.."
"Gue bukan siapa-siapa lo." Ucap Adel acuh, ketus, dan dingin seperti biasanya. Hal itu sukses membuat Raffa terkekeh, dia memperbaiki posisi duduknya di kursi, bergeser dan menyuruh Adel untuk duduk di sisinya karena terlalu lama berdiri.
Dan Adel menolaknya mentah-mentah. Karena pegangan tangan mereka terlepas, Adel memilih berjalan ke arah piano, bersamaan dengan bunyi bel berbunyi dan Perempuan itu tidak beranjak sama sekali.
Dia memilih menemani Raffa beberapa menit karena Lelaki itu terus meringis, tidak menangis, tapi matanya merah, dia memendamnya.
Bersamaan dengan satu tuts piano yang Adel mainkan dengan jari, suara coretan kasar terdengar di kertas tepat di hadapan Raffa. Lelaki itu bersuara, mengusap wajahnya, "Mama sama Papa cerai bulan kemarin."
Satu tuts piano terdengar lagi.
"Alasannya?" Raffa menjawabnya sendiri, berkata dengan kekehan yang di paksa keluar, membuat Adel menelan ludah, "Mama marah-marah setiap pulang dari butik, capek, dan Papa selalu di jadiin alasan kenapa Mama bisa kayak gitu." Sambung Laki-laki itu, membersihkan puntung rokok di atas meja dengan sekali geseran tangan.
"Padahal Papa gak salah sama sekali. Dan disitu, Papa selalu nyalahin diri sendiri karena pengangguran, padahal Papa udah usaha cari kerja siang malam, dan Mama gak anggap itu berarti sama sekali
"Sebelumnya, Papa gak mau nikah sama Mama. Tapi Mama bilang kalau dia hamil, dan Papa adalah Ayahnya," Jari Adel di atas piano bergetar, jatuh disisi tubuh, mendengarkan lanjutan Raffa bercerita.
"Gue tau Papa orang yang baik waktu itu, naif banget, gak pernah main-main sama Cewek, apalagi tidur sama Cewek. Itu.. Gak Papa banget," Raffa rasanya seperti di paksa menelan pil pahit, tercekat di tenggorokan, "Mama bohong. Semenjak pacaran sama Papa, ternyata Mama selingkuh sama Cowok lain. Dan Mama ngadu dengan orang tuanya karena Papa gak mau tanggung jawab bayi di perutnya. Kakek Nenek marah besar, dan Papa terpaksa nikah sama cewek gak bener seperti Mama."
Pikiran Adel berkelana, dia menatap Raffa beberapa saat, melihat betapa terpuruk nya Laki-laki itu, membuat hatinya terenyuh, dia bergumam dengan ekspresi kesal yang tidak kentara, "jahat."
"Mama jahat." Lanjut Raffa menggigit bibir. "Kak Syifa lahir tanpa kasih sayang. Kak Syifa selalu di banding-bandingin di keluarga karena anak yang terlahir di luar nikah, itu semua karena Mama." Sebenarnya Raffa tidak ingin durhaka pada sang Bunda, tapi dia tidak bisa menahannya, rasanya kepalanya akan meledak jika seumur hidup harus di pendam. Dan Raffa kali ini merasa, dia menemukan teman cerita yang sangat dapat di percaya.
"Trus, Mama nuntut kalau Raffa harus ikut dia. Kalau Raffa harus pilih tinggal sama dia, padahal Raffa benci Mama,"
"Gue benci Mama karena nyalahin Papa, karena selalu mikirin butik tanpa tau kehidupan sekolah anak-anaknya, benci Mama karena selalu marah-marahin Kak Syifa padahal dia gak salah-"
"Gue benci Mama karena kasih sakit yang sampai kapanpun, gak bisa sembuh." Raffa memukul dadanya, meringis menahan sakit, membuat Adel terpekur cukup lama, Perempuan itu segera berdiri, menghampiri Raffa yang semakin menjadi, sebisa mungkin menenangkan.
Dan dia tau Raffa memang tidak akan diam saja. Maka Adel segera menangkup wajah Laki-laki itu yang kali ini sudah berlinang air mata, dia menatap nya cukup lama.
Adel juga bisa merasakan sakitnya. Dan di detik berikutnya, Adel memeluk Laki-laki itu, menepuk punggungnya yang bergetar hebat, menahan rasa sesak di dada. Mendongak, dia tidak mau ketularan menangis juga.
***
Part ini sangat sksksksk yang bestie🥰

KAMU SEDANG MEMBACA
Evanescent (END)
RandomTentang lelaki pengidap penyakit ataksia yang bertemu dengan perempuan pemilik trauma masa lalu. *** Adel benci di sentuh laki-laki. Adel tidak suka menjadi lemah. Adel lelah tidak menjadi diri sendiri, selalu ke psikiater. Dia benci punya penyakit...