UPDATE SETELAH SEKIAN PURNAMA😭
Vote kalau suka bagian ini. Siip?
Sepertinya rencana namatin cerita ini secepatnya batal, deh.
Karena kisah mereka ini masih puaanjaaang.Jadi...
HAPPY READING!
Semoga suka❤
***Keterdiaman mereka berdua menjelma bisu di masing-masing bibir. Adel sesekali melirik si Lelaki yang bersandar nyaman pada bahunya tanpa terusik, seolah Raffa benar-benar melanjutkan tidur yang tertunda. Helaan nafasnya yang semakin memberat seirama dengan ritme jantung Adel yang sedikit demi sedikit berdetak secara normal dibandingkan pertama kali bobot tubuh si Lelaki menindihnya tanpa izin.
Pandangannya menerawang berusaha mengulik kehidupan Raffa semenjak dia mendekam di rumah sakit. Apa yang terjadi dengan Lelaki itu, bagaimana hari-hari selama sekolahnya. Juga terapinya, apakah lancar dan ada perkembangan? Adel takut ketiadaannya berefek pada kesehatan Raffa. Pun, jika dipikir-pikir lagi, selama ini juga Raffa bisa dikatakan hanya memiliki Adel sebagai tempat tukar cerita.
Dan selama ini, Adel lalai tanpa bermaksud abai.
Kadang Adel ingin menjadi jahat dengan membocorkan hal ini pada Kak Syifa, tapi kalah telak dengan janjinya yang sudah disepakati. Adel tidak ingin menjadi manusia yang ingkar janji, Papa tidak akan suka.
Sekiranya berakhir nyaris 20 menit, lengang melanda seiring sapuan angin makin sejuk menusuk permukaan kulit. Suara hilir mudik para perawat terganti dengan bunyi familiar dari dalam perut Adel yang sepertinya sudah sangat keroncongan. Membuatnya memejam menahan rona merah lantaran malu.
Dan yang membuat Adel nyaris terlonjak waktu kepala Raffa langsung terangkat tak biasa. Dia menguap khas bangun tidur, bahkan sambil meregangkan otot-ototnya, seolah benar-benar baru saja bangun dari tidur panjang padahal jelas-jelas tidak. Raffa menolehkan kepala, langsung bertanya pada Perempuan yang terus diam bagai patung disampingnya.
"Jam berapa, nih?" Tanyanya, membuat Adel berbalik terbata, wajahnya merah seperti kepiting rebus. Mirip sekali.
"Sepuluh lewat dua sembilan menit."
"Gue belum makan malam, laper. Mau ikut?"
Adel mengerjap. Menatap Raffa yang kini juga menubruk netranya hangat. Mengumpat dalam hati karena Adel yakin sekali bahwa Raffa mendengar bunyi perut sialannya, walaupun sikapnya polos seolah tidak terjadi apa-apa.
Lekatnya tatap Lelaki itu juga seolah memberi isyarat bahwa 'iya, dia pura-pura tidak tahu', makanya Adel mengangguk berat seakan melupakan waktu beberapa detik lalu, dia juga akan berpura-pura saja.
"Boleh."
Raffa berdiri, mengambil hoddie yang tersampir pada kursi, celingak-celinguk seolah memastikan tidak ketinggalan apa-apa, termasuk Adel sekalipun. Makanya, tangan Raffa terulur, berniat menyambut Adel berdiri karena Perempuan itu nampak mengerjap lagi, untuk kesekian kali, yang justru ekspresinya kelihatan sangat lucu.
Ragu-ragu Adel menaik turunkan niat, tapi akhirnya, Raffa menarik uluran tangannya menggantikan dengan sodoran sebuah hoddie hitam miliknya, "pakai dulu, baru berdiri."
"Gak dingin,"
"Tapi diluar dingin, nanti sakit." Andai saja Raffa tahu, bahwa kalimat Adel barusan mengisyaratkan kekecewaan bahwa ia tadinya akan menarik tangan Raffa, tapi malah diganti sepersekian sekon saja dengan benda yang membuatnya langsung dongkol.
"Enggak, lo aja."
"Pake atau mau gue pakein?"
Hingga akhirnya wajah Adel yang berpaling kembali menatap Raffa galak karena perkataannya yang memaksa walau itu demi kebaikannya sendiri. Dengan ogahan, hoddie tebal dan lembut itu Adel sambut dengan berdiri dan masuk kedalam ruangan. Memakai nya didalam akan lebih baik.
![](https://img.wattpad.com/cover/307572732-288-k377312.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Evanescent (END)
De TodoTentang lelaki pengidap penyakit ataksia yang bertemu dengan perempuan pemilik trauma masa lalu. *** Adel benci di sentuh laki-laki. Adel tidak suka menjadi lemah. Adel lelah tidak menjadi diri sendiri, selalu ke psikiater. Dia benci punya penyakit...