UPDATE YEAY!
Vote dan komen-nya!
Mood ngetik cerita ini baru balik,
Besok up lagi gimana?HAPPY READING!
Semoga suka❤
***Jam pulang sekolah. Adel berjalan beriringam bersama murid lainnya di Koridor kelas. Punggungnya terasa pegal karena banyaknya buku paket dalam ransel yang dia bawa.
Selagi memperbaiki rambutnya yang kusut, sudah tidak rapi lagi. Bahunya langsung di senggol beberapa siswi yang berlarian ke arah lapangan.
Adel hendak marah. Namun urung begitu melihat banyak gerombolan membentuk disana. Hal yang paling menonjol adalah seragam basket para Lelaki, mereka terlihat cemas.
"Si Raffa 'kan? Katanya kesandung atau gimana. Sakit banget sampai banyak darahnya," gumam yang lainnya sembari berlalu di hadapan Adel. Membuat Adel terkejut cukup lama. Dia menatap nya dari kejauhan terlebih dahulu, memastikan kalau Raffa yang di maksud adalah teman sekelasnya.
Namun justru langkah jenjangnya tak bisa di ajak berkompromi. Untuk beberapa menit, Adel melupakan nyeri di punggungnya yang sudah tidak mampu menahan beban buku paket demi berlari ke arah lapangan.
"Ini bisa sampai berapa jahitan?" Ringis salah satu temannya yang pucat melihat keberadaan Raffa. Semakin membuat Adel kalang kabut, dia berjinjit, di tolak berkali-kali, nyaris hilang keseimbangan.
Sampai akhirnya Adel menghela nafas berat dengan kepala nyut-nyutan. "Minggir bisa gak sih?!" Emosi Adel keluar. Membuat senyap kumpulan yang berada disana.
Mereka seketika menoleh dengan gerakan kaku, menatap Adel seolah dia adalah binatang buas yang siap menerkam mereka semua.
"Minggir." Ulang Adel dengan nada dingin. Membuat para Siswi yang ngeri langsung mundur, memberi celah untuk Adel lewati. Membiarkan kerumunan itu terbuka setidaknya Adel sampai di hadapan Raffa yang tertunduk menatap kakinya yang terluka lebar.
Adel tentu saja syok, dia langsung berjongkok dengan wajah cemas yang baru kali ini kelihatan di hadapan banyak siswa-siswi.
"Ini kenapa, Raf?" Raffa mengangkat wajahnya sekilas, menahan nyeri. Tidak menjawab pertanyaan Perempuan di depannya.
"Jatuh tadi," Temannya menjawab, dia membawa bola basket di tangan kiri, posisinya sama seperti Adel, berjongkok.
"Jatuh kenapa?" Adel kelihatan tidak sabaran ingin tau, wajahnya yang kelihatan mengerikan membuat Firman yang juga ada disana berceletuk pelan dengan nada takut-takut. Bukannya kenapa, Adel kelihatan akan menyalahkan mereka semua jika tidak di jelaskan.
"Bukan kita kok, Del. Nih anak emang suka jatuh sendiri." Firman menunjuk palang besi yang berdiri lumayan pendek disisi lapangan, dulu itu adalah tempat mengalirnya air, muncrat ke mana-mana, membuat pihak sekolah menyumbat nya dulu sebelum akhirnya di perbaiki nanti karena mengganggu lapangan.
"Ketusuk itu, ke gores, jadinya gini. Bukan di dorong atau apa, ya." Jelas Firman lagi, membuat Adel di buat terpekur, netranya ikut meredup saat dia menatap Raffa yang diam seribu bahasa. Adel tau mungkin itu pengaruh penyakitnya, lagi.
Firman sedari tadi ancang-ancang membopong Raffa setelah menyumbat luka berdarah itu dengan seragam basket nya, menyisakan baju lapisan putih yang membalut tubuhnya.
"Ceroboh banget, lo. Ini udah keberapa kalinya sih lo jatuh?" Dumel Firman.
Di bantu Adel yang entah kenapa bisa merasakan perih di kaki Raffa. Firman bisa membantu Raffa berdiri walau kesusahan. Kerumunan lain terbuka karena guru penjas datang dengan tandu, di susul anggota PMR yang masih tersisa di jam pulang sekolah.
Lelaki itu terlihat pucat menatap Adel, naik ke atas tandu, lalu dengan hati-hati di bawa menuju UKS. Kerumunan berangsur surut, mereka sejenak menatap Adel yang berjalan bersisian di dekat Raffa dengan tatapan tanda tanya, karena mereka tau Adel tidak pernah terlihat secemas ini sebelumnya.
***
"Telpon, gih."
"Lo aja, takut gue,"
"Lah. Lo 'kan temennya?"
"Lo ingat waktu gue nelpon Kakaknya terakhir kali? Di ceramahin anjir. Gak, gue gak mau. Kak Syifa galaknya minta ampun." Firman menyodorkan ponselnya ke arah Lelaki se-timnya. Dia duduk di samping Firman, menatap ponsel itu lamat-lamat, tarik ulur menerimanya atau tidak.
Sampai akhirnya dia menjauh, bergidik ngeri. Dia juga takut sama Kakak Raffa tersebut.
"Badan doang gede! Sama Cewek takut!" Semprot Firman. Melepas ponsel sembari terus menggerutu. Alhasil, ponsel milik Raffa itu tergeletak di kursi tunggu rumah sakit.
Setelah kejadian tadi di lapangan. Raffa di larikan ke rumah sakit karena darah di kakinya yang tak kunjung berhenti. Dokter mengatakan akan melakukan penanganan lanjut. Meminta untuk melapor dahulu pada keluarganya.
"Dih, lo juga!" Balas Lelaki tersebut tidak Terima. Mereka masih adu argumen setidaknya sampai Perempuan berambut panjang dengan seragam tidak serapi biasanya tiba-tiba menyela.
Dia datang sembari menyodorkan tangan. Meminta ponsel milik Raffa.
"Sini gue yang bicara,"
Mereka berdua reflek saling tukar pandang. "Yakin, Del?"
Adel tidak menjawab. Dari wajahnya saja kelihatan kalau dia sedang serius. Menerima sodoran ponsel yang Firman berikan, lalu tanpa pikir panjang menekan tombol menghubungi sampai bunyi dering pendek terdengar disana.
"Kenapa? Gue sibuk! Kalau gak penting gue matiin,"
Firman menelan ludah. Suara Syifa membuatnya merinding, sumpah.
"Hallo, Kak," Sahut Adel membuat jeda sesaat di seberang sana. Nampaknya Syifa sedang mencerna suara siapa yang tiba-tiba muncul dari ponsel Adiknya. Perempuan lagi.
"Siapa?"
"Aku Adel, Kak. Teman Raffa-"
"Kenapa?"
"Tadi di sekolah ada sedikit masalah. Kecelakaan kecil sampai Raffa terluka, saat ini dia sudah ada di rumah sakit CENDIA KASIH. Maaf kalau ganggu, tapi Kakak bisa kesini?"
Sekilas terdengar suara grasak-grusuk diseberang. Juga hela nafas tidak teratur sampai Adel bisa menebak kalau langkah Kakak Raffa disana sudah mulai berlari tergesa.
"Gue kesana sekarang."
Dan panggilan berakhir. Di putus sepihak.
Adel mengangkat wajah, dia melihat Firman dan teman di sampingnya menatapnya intens. Membuatnya mundur, padahal jarak di antara mereka tadi terlampau jauh.
Ada getaran kecil di bahu Adel. Degup jantungnya memacu beberapa detik karena tatapan lamat tersebut. Adel takut melihatnya, mungkin karena itu, dia berusaha merilekskan dirinya sendiri sembari bertanya dengan nada di buat sedingin mungkin.
"Apa?"
"Udah pasti di restuin, sih, Del." Celetuk Firman di balas anggukan Lelaki disampingnya. Membuat guratan kentara di kening Adel.
"Gue, sih, setuju aja kalau lo pacaran sama Raffa. Apalagi lihat bicara lo sama Kak Syifa tadi. Beuh, kece banget. Lo sebelas duabelas galaknya sama dia. Jadi.. Udah pasti di restuin, sih."
Ada rasa ingin menampol kepala Firman yang tengilnya bukan main itu di ujung jari Adel. Tapi dia tahan, Adel tidak mungkin menyentuh laki-laki selain Raffa.
Eh?
***

KAMU SEDANG MEMBACA
Evanescent (END)
RastgeleTentang lelaki pengidap penyakit ataksia yang bertemu dengan perempuan pemilik trauma masa lalu. *** Adel benci di sentuh laki-laki. Adel tidak suka menjadi lemah. Adel lelah tidak menjadi diri sendiri, selalu ke psikiater. Dia benci punya penyakit...