UPDATE YEY!
Vote dan komen seperti biasa😁HAPPY READING!
Semoga suka❤***
Adel tau rasanya sakit. Dan semua orang.. Juga pernah mengalami nya, tanpa pandang usia, tanpa melihat latar belakang, mereka menyerang dan membuat seseorang terpuruk, membuatnya takut, membuatnya membenci.
Karena itu Adel masih setia mendekap kepala Lelaki yang menangis sesegukan seperti anak kecil itu, badannya bergetar, terisak hebat, membuat mata Adel berkaca-kaca. Jika saja Adel tak kuasa menahan tangis, mungkin dirinya juga ikut pecah, menangis seperti Raffa.
Tapi Adel cukup terlatih, selain menangis karena kejadian paling mengenaskan di hidupnya hari itu. Adel tidak pernah menangis walaupun penyakitnya kambuh separah apapun, air matanya habis, tidak pernah keluar lagi. Kecuali, jika kejadian itu terulang lagi, kejadian yang persis sama. Api dan lenyapnya Papa, serta Lelaki brengsek yang menidurinya.
Adel memejamkan mata sekejap. Menikmati sensasi dipeluk setelah sekian lama. Nyaris 8 menit, Tangan Adel mendorong Raffa, membuat Lelaki itu segera mundur, dia tau Adel risih dan tidak suka. Raffa sudah tidak menangis. Lagipula, siapa juga yang ingin berlama-lama menangis di depan seorang Wanita yang notabenenya mereka adalah teman sekelas.
Apa yang nantinya Adel pikirkan?
"Sorry," Ucap Raffa mengalihkan pandang, dia hendak beranjak saking malunya, tapi kakinya tiba-tiba tidak bisa di ajak berkompromi. Dia kebas, mati rasa, persis seperti yang dia alami beberapa hari belakangan.
"Gue-"
"Jangan cerita lagi, gue muak." Ucap Adel dengan wajah kembali datar. Pandangannya beralih sama seperti kalimatnya barusan, mengalihkan situasi. Perempuan itu sudah bersiap kembali kedalam kelas, pasti dia sudah di simpan bolos dalam absen.
"Gue cuma ngerasa lo bisa jadi teman cerita. Jangan kasih tau siapapun."
Adel berdeham. Menatap Raffa yang masih duduk, dia terlihat tidak ada pergerakan sedari tadi. Mana mungkin kan? Raffa menangis hanya karena masalah keluarga. Bukan, bukan berarti Adel berpikir Raffa terlalu cengeng atau selebihnya. Tapi, di lihat dari gerak-geriknya, Lelaki itu seperti terlalu banyak menyembunyikan luka. Dan tangisannya tadi, bukan tangisan kebencian atas Sang Bunda, bukan juga tangisan yang terjadi karena rusaknya rumah tangga Ibu dan Ayahnya, itu lebih, lebih sakit dan pasti... Sulit.
"Lo bisa janji, Del? Jangan kasih tau siapapun?" Ucap Raffa dengan nada berharap, menatap netra tajam Adel yang tak kendur.
"Kalau lo gak percaya sama gue, kenapa lo cerita?" Imbuhan Adel yang Raffa rasakan itu adalah sebuah profokasi, maka Lelaki itu mengangkat bahu acuh dengan wajah merahnya tanpa dosa.
"Gue cuma.. Ngerasa pengen ngeluarin aja?" Pertanyaan yang terlontar itu, adalah sebuah kalimat yang Raffa katakan juga pada dirinya sendiri. Kenapa.. Dia bisa mempercayai Adel?
Adel berdecih sinis. Terus terang saja, Adel sebenarnya memiliki sedikit empati, tapi karena sudah lama dia tidak merasakan emosi itu, dia tidak tau cara menunjukannya dengan benar.
Maka dia berkata, "Ya terus, lo cerita semua itu buat dapat simpati? Biar gue ngerasa kasihan?"
Raffa tertawa. Sakit hati sekali. Padahal Adel mengatakannya tanpa ekspresi berarti, hanya saja, wajah songongnya yang membuat Raffa berani membalas, dan kali ini, Adel terdiam.
"Justru gue yang ngerasa kasihan sama lo. Karena sampai kapanpun, lo pasti gak bakal punya hati nurani secuil apapun."
"Gue bisa percaya seorang Agatha Adeline punya hati. Kalau lo bisa nyimpan semua cerita gue ini sendirian." Sambung Raffa enteng. Kali ini dia berdiri, meremas jemari menahan rasa sakit di kakinya yang tiba-tiba. Maju selangkah tepat di hadapan Adel, lalu menunduk, hanya tersisa dua senti, lalu Laki-laki itu berbisik.
"Mau dengar lanjutannya, gak?"
Sial. Jantung Adel rasanya akan melompat dari tempatnya.
***
Adel sudah hendak menyalakan mesin mobilnya begitu terdengar benturan keras dari belakang. Bukan hanya sekali, tapi berkali-kali, dan sudah pasti hal itu adalah kesengajaan.
Perempuan itu menghela nafas lelah, menatap pantulan seseorang di balik cermin di tempat mengemudi.
Belum genap rasa jengkelnya, Perempuan bertubuh mungil itu mengetuk kaca jendela mobil Adel dengan tidak sabaran. Memukulnya, membuat suara bising. Tak ingin memperpanjang masalah, dia membuka pintu mobil, membuat Aura langsung mundur. Tatapan nya tajam menatap Adel, seolah Adel baru saja melakukan kesalahan.
"Kenapa?" Tanya Adel to the poin, menatap Aura lebih rileks.
"Lo ada hubungan apa sama Raffa?" Alis Adel naik, suara lembut Aura dengan nada intimidasi membuat Adel semakin keheranan.
"Apaansih lo?" Ketus Adel semakin jengkel. Aura menghadang nya hanya karena hal sepele seperti ini?
"Lo yang apa-apaan! Kalau orang nanya tuh di jawab! KUDET BANGET SIH?!" Waw. Adel terkejut sampai lupa reaksinya kali ini seperti apa. Aura berteriak, Perempuan yang terkenal lembut itu menatap Adel garang.
"Gak ada apa-apa. Intonasi lo di turunin dikit bisa gak? Orang keganggu, suara lo lebih mirip kambing keserempet mobil kalau marah. Ngeri." Adel berkata lempeng sembari memperhatikan sekitar yang tadi sempat menoleh pada mereka berdua karena suara Aura yang kelewat kencang.
Aura mendengus keras. Tak tertarik untuk marah pada kalimat hinaan Adel barusan.
"Terus kenapa lo keluar dari ruang seni bareng Raffa? Lo goda Raffa kan? Murahan, ganjen banget, pantesan gak ada orang yang suka." Nyinyir Aura membuat Adel semakin kaget.
Apa-apaan?!
"Lo maksa Raffa pacarin lo? Kenapa lo bisa deket sama Raffa? Jawab bego! Bisu lo?!"
"Gue gak pernah nemuin cewek segila lo." Adel membalas perkataan Aura dengan kalimat dingin kali ini, membuat Gadis mungil itu semakin bertambah kesal setengah mati, dia melihat Adel melipat tangan angkuh, memperhatikan setiap sisi tubuhnya yang lebih kecil.
"Lo kalau suka sama Raffa bilang sama dia. Kenapa lo marahin gue? Aneh. Oh iya, hampir semua murid di kelas juga tau tipe Raffa kayak gimana. Yang jelas bukan cewek centil kayak lo." Adel membungkuk, menumpukam tangannya pada paha, menatap Aura dengan bibir tertarik sedikit, "gue bener kan?"
"Semangat kejar Raffa nya, Aura Kisah Atmaja," Sebelum berlalu dan kembali masuk ke dalam mobilnya. Adel menepuk bahu Aura dua kali. Dia tersenyum penuh kemenangan.
Kisah remaja, memang selalu penuh dengan omong kosong. Membosankan.
***
Adel terlalu badas gak sih?😭
KAMU SEDANG MEMBACA
Evanescent (END)
De TodoTentang lelaki pengidap penyakit ataksia yang bertemu dengan perempuan pemilik trauma masa lalu. *** Adel benci di sentuh laki-laki. Adel tidak suka menjadi lemah. Adel lelah tidak menjadi diri sendiri, selalu ke psikiater. Dia benci punya penyakit...