UPDATE HALAMAN TERAKHIR DARI NOVEL INI.
Tarik nafas, tahan nafas, gak udah dihembusin biar mati. Eh canda.
Btw, udah siap buat baca?
Vote dan komen dong karena ini terakhir kita ketemu (peluk)HAPPY READING!
Semoga suka❤***
Pintu itu berderik terbuka. Hal yang pertama Adel rasakan adalah kesunyian, pengap, lengang, dan dingin. Ruangan Raffa gelap karena tirainya yang tidak terbuka. Jika ini adalah hari minggu biasanya. Adel sudah melangkah riang menuju jendela dan membukanya lebar-lebar agar matahari bisa menghangatkan tubuh Raffa. Tapi keadaan ini berbeda.
Raffa nampak terlelap ditempatnya. Adel melangkah pelan mendekati tempat tidur laki-laki itu. Tidak menarik kursi, hanya menatapnya. Menatap matanya yang memejam. Adel mengarahkan jari telunjuknya dibawah hidung Raffa dengan kalut. Belum sempat karena Lelaki itu nampak mengerut, entah bermimpi apa. Adel menahan jejemarinya diudara. Gantian mendekap mulutnya menahan isak tangis. Raffa masih hidup. Raffa nya masih hidup.
Pandangannya memburam karena linangan air mata. Adel menarik tangan Raffa untuk dikecup beberapa kali. "Raffa kangen ... Gue kangen ..." Lirihnya.
Adel memejam penuh rindu. Sampai mendengar suara serak Raffa, barulah kepalanya terangkat.
"Cengeng." Raffa berkata masih dengan mata yang memejam. Kerongkongannya kering, Lelaki itu memaksa untuk berbicara. "Jangan nangis, Del."
Adel masih terus menunduk dengan tubuh bergetar hebat. "J-jangan nangis, hm. Lo gak boleh n-nangis"
"Raffa jangan pergi ..." Adel mengangkat pandang dengan netra rapuknya. Memohon sambil meremat jejemari Raffa. "Jangan tinggalin gue ... Jangan ..."
"Adel yang gue kenal gak lemah," Raffa menahan sakit yang semakin perih dipangkal tenggorokannya. "Adel gak akan nangis karena cowok, ingat?"
Adel menggeleng kuat-kuat. Pipinya semakin banjir. "Enggak enggak. Gue gak kuat tanpa lo Raf, enggak." Adel setengah membentak kenyataan. "Gue gak bisa. Gue gak bisa kalau lo gak ada."
"Bisa. Pasti bisa." Dan Raffa akan selalu memaksa. Seperti dulu dia memaksa masuk dikehidupan Adel dan mengubahnya. Seperti dulu dia memaksa menjadi sempurna agar Adel merasa dia lengkap tanpa kekurangan.
"Adel ikhlas, ya? L-lepasin gue biar gua gak sakit lagi." Raffa meraup oksigen kasar. Tangan kirinya yang tersampir dipaksa terangkat demi meraih Adel. Perempuan itu masih menggeleng kuat-kuat. Sakit di tubuh Raffa menjalar sampai ujung ubun-ubunnya. Lelaki itu berhasil menggapai Adel bersamaan dengan aliran merah yang mengalir dibawah hidungnya.
Adel jatuh didada bidang Raffa dan segera memeluknya erat. "Raffa jangan dulu..." Dan Raffa menahan erat kepala Adel dengan air mata yang menetes satu-persatu di bantal sampingnya.
"S-sakit banget, Del. S-sa-kit."
Adel merasakan jantung Raffa melemah. Perempuan itu hendak bangkit untuk memanggil dokter tapi Raffa menahannya kuat. Adel tidak bisa sekalipun memberontak.
"Raf? Raffa!?"
Hembusan nafas Raffa di atas kepalanya juga melemah. Air mata Adel mengalir deras. Sakit. Sakit sekali mendengar Raffa mati-matian menarik nafas. Sakit merasakan langsung kekasihnya ada di ujung tanduk antara hidup dan mati.
"Raf lepas. Raffa lepas!" Adel sudah tidak tahan lagi. "Suster! Dokter!" Perempuan itu memaksa berteriak walau kesusahan.
"B-bentar a-ja. T-temenin g-gue dulu-" Lirihan Raffa tidak sampai ujung karena suaranya tiba-tiba habis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Evanescent (END)
De TodoTentang lelaki pengidap penyakit ataksia yang bertemu dengan perempuan pemilik trauma masa lalu. *** Adel benci di sentuh laki-laki. Adel tidak suka menjadi lemah. Adel lelah tidak menjadi diri sendiri, selalu ke psikiater. Dia benci punya penyakit...