27. Dia mati di tangan gue

115 13 1
                                    

AKU TERAKHIR UP KAPAN SIH?😭😭
Udah nungguin ya? Nih aku kasih part
Yang lumayan panjang.
Vote ya!

HAPPY READING!
Semoga suka❤

***

"Tante, saya izin bawa Adel sebentar, boleh?"

Seolah belum selesai dengan kekesalan yang sedari tadi Adel tahan untuk tidak menggampar mulut Melvian yang seenaknya berbicara. Sekarang Lelaki itu justru menambah uap panas membumbung di kepala Adel. Dada Adel naik turun, bergumuruh, tubuh nya bergetar takut selagi menggeleng kecil menatap Mamanya lamat agar wanita itu tidak mengizinkannya.

Tapi justru Yani tersenyum manis, menyimpan secangkir teh panas di depan Melvian. Lalu mengangguk dengan menepuk bahu Lelaki itu. Mempercayakan Adel padanya. Mau Mamanya apa sih sebenarnya?

"Ganti baju, gih. Nunggu kamu, Mama mau cerita sebentar sama Melvian." Yani berkata. Menyuruh Adel mengganti seragam sekolahnya.

Perlu beberapa detik untuk bangkit dari duduk tidak enaknya, karena Adel perlu menarik nafas berat selagi menghitung angka satu sampai sepuluh, anjuran Dokter Vania. Adel tidak ingin dia kambuh diwaktu yang sangat tidak tepat.

"Adel. Ayo." Yani berkata dengan nada tegas kali ini. Menatap putrinya tajam. Hingga akhirnya Adel menyeret langkah kakinya menaiki setiap jengkal anak tangga. Meremas sisi seragam sekolahnya. Perasaannya tidak enak, Adel takut Melvian kembali bersikap macam-macam. Apalagi mereka nantinya hanya akan berdua, di mobil biru tua Melvian.

Sesampai dikamar. Memilih baju yang lebih nyaman. Disisi lemari, foto usang tertempel disana. Foto Papa yang dulu selalu melindungi Adel. "Adel takut sama Melvian, Pa. Dia brengsek kayak Kak Sam." Gumamnya menyeka wajah, bimbang apakah dia harus menuruti perintah Mamanya atau menjadi anak pembangkang.

"Sekarang gimana? Gue harus apa? Apa gue telpon Nara aja?" Tapi baru saja Adel hendak menggapai ponselnya. Pikirannya kembali menerawang, Nara marah padanya. Apalagi nanti tau kalau saat ini Melvian sedang mengajaknya keluar.

Tapi harus bagaimana lagi? Sahabatnya itu adalah harapan Adel satu-satunya. Setidaknya masih dengan wajah muram, ponselnya berdering di detik-detik Adel sudah akan menelepon sahabat baiknya itu.

Nomor Raffa tertera disana.

***

"Kita mau kemana?"

"Kemana aja. Aku mau habisin waktu sama kamu, Agatha. Kamu mau 'kan kenal dekat sama aku? Itu permintaan Mama kamu."

Adel di buat bungkam. Hari menjelang malam, lampu kota perlahan memenuhi jalanan, sementara mobil biru Melvian membelah jalanan dengan kecepatan rata-rata. Adel menggenggam erat sealt belt, meremas tali tas jinjingnya.

Adel rasanya ingin berteriak meminta pertolongan.

"Melvian, gue harap lo ngerti satu hal," Melvian melirik Adel, membagi fokusnya. Senyumnya terbit. ".. Sekali lo sentuh gue, lo bakal dapat akibat yang lebih dari setimpal." Adel berkata disela keringnya kerongkongannya.

Tatap mereka hanya bertemu beberapa detik hingga akhirnya Melvian menunjukan wajah jenaka. "Oh, ya?" Ujarnya seolah merendahkan kalimat itu.

"Jangan macam-"

"Memangnya aku seperti penjahat, ya?" Tanyanya seolah tidak sadar diri. Membuat Adel mengepalkan tangannya erat. Keringat mengalir di pelipisnya, rasanya oksigen seakan di embat habis. Adel kesulitan bernafas saking takutnya.

"Aku menyeramkan, ya, Agatha?" Melvian mengangkat bahu. Bersenandung, menambah laju kendaraannya. Beruntungnya mereka masih berada di pusat kota, masih banyak orang yang berkendara. Setidaknya, saat mata Adel melelisik setiap celah untuk kabur dan mencari solusi, akan banyak orang yang membantunya. Semoga.

Evanescent (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang