17. Mengunjungi Papa pertama kali

115 13 0
                                    

UPDATE-NYA LUMAYAN CEPAT, YA.
Vote dan komennya seperti biasa.

HAPPY READING!
Semoga suka❤
***

Jika Syifa iri pada kasih sayang seorang Ibu. Maka Raffa sebaliknya. Harfiah sebenarnya artinya, tapi Raffa menolak hal itu mentah-mentah. Walau tau bagaimana perlakuan Papa yang berbanding terbalik padanya, tapi kenapa tidak dilihat dari sisi positifnya?

Wajar saja kalau Papa lebih sayang Syifa. Mungkin alasannya tersembunyi-nya adalah.. Karena Kakaknya kurang perhatian dari Mama dan dia berhak bahagia walau itu dari Papa 'kan?

Raffa memilih jalur yang lebih bijak, membiarkannya, membuat dirinya tidak egois dan berteriak marah. Menerimanya. Dengan itu.. Anak laki-laki itu bisa paham bagaimana rasanya menjadi bocah Perempuan yang terus menangis karena ulah.. Mama, padahal dia lahir dari rahimnya sedang Papa tidak.

Kak Syifa bukanlah Anak Papa tapi lihatlah.. Perhatiannya melebihi dari seorang Ayah kandung terhadap Putri pertamanya.

"Kuliahnya lancar aja, sih, Pa. Belakangan ini gak ada halangan. Syifa usahain biar bisa hemat kok, tenang aja. Nanti kalau Raffa nakal langsung aku aduin ke Papa. Sip gak?"

Sore itu Raffa mendapati Wiro-Papanya sedang berbincang ria dengan Kakaknya, memakai setelan kemeja biasa dan celana kain hitam, penampilannya masih sama seperti dulu. Tapi wajahnya terlihat tidak bersemangat, ada ekspresi sendu disana, tapi justru Papa tidak menunjukannya.

Jika dilihat dari Martabak manis yang terhidang di meja, belum tersentuh dan hangat dengan bukti asap kecil membumbung di atasnya, Raffa bisa pastikan Papa tiba belum lama setelah dia sampai.

Lelaki itu hendak masuk kamar tanpa suara, tidak mau menganggu kesenangan mereka tanpa sadar kalau Wiro sudah menyadari kehadirannya sedari tadi. "Sudah pulang, nak?"

Raffa tersentak, berbalik kikuk karena tau perlakuannya tadi sangat tidak sopan. Lelaki itu berjalan ke arah sofa, menyimpan tas sekolah nya di karpet putih. Menyalimi tangan Papa nya sembari berbasa-basi. "Papa udah lama?"

"Belum juga," Wiro menepuk pundak Raffa, tersenyum lembut dan teduh. Pria itu menunjukan rasa rindunya yang teramat. Dari garis wajah yang menyimpan penat, dia melengkungkan senyum terbaiknya.

"Gimana sekolahnya? Uang komite udah dibayar kan? Jangan nakal-nakal di sekolah, sebentar lagi kamu naik kelas 12. Jadi anak yang baik, ya, nurut sama Kakakmu." Raffa terpekur cukup lama. Dadanya tiba-tiba sesak, tanpa sadar dia memang merindukan kehadiran Papa yang cukup lama belum muncul setelah pertengkaran hebat malam itu.

Raffa tidak tau kabarnya, Papa menghilang entah kemana. Sebenarnya alasan satu-satunya adalah kepastian kalau Papa menganggap dirinya sangat tidak berguna sebagai kepala keluarga, Papa malu padahal dia adalah manusia terbaik yang pernah ada.

"Papa memang jarang mampir kesini lihat anak-anak Papa yang ternyata udah mandiri. Papa seneng karena kalian baik-baik aja, selalu begitu, ya?"

Raffa mengangguk kecil di tempat duduknya saat Papa berceletuk riang, menyuruh Syifa. "Ambil piring Syifa, kita makan nasi padang."

"Eh, Papa beli nasi padang?" Tanya Syifa sudah keluar dari situasi haru beberapa detik yang lalu. Menatap Papanya bingung.

Sebenarnya Raffa sudah tau betul tentang Syifa yang hebat memainkan ekspresi, mengubah nada suaranya, berubah menjadi Gadis periang seolah-olah sikap dingin yang biasa dia tunjukan pada Raffa tidak pernah ada.

"Ada dong. Belum dikeluarin karena nunggu Raffa dulu. Kita makan sama-sama." Ujar Wiro mengambil kresek lain yang sedari tadi dia sembunyikan disudut kursi dengan senyum sumringah. Lelaki paruh baya itu mengangkatnya tinggi-tinggi, pamer ceritanya.

Evanescent (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang