31. Lonely

231 29 1
                                    

Tidak ada yang abadi di dunia ini, termasuk kesedihan. Jadi jangan khawatir

Malam itu Gasta sedang berada di kamar sendirian, ia sedang duduk di atas kasur dan laptop yang ia letakan di pahanya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Malam itu Gasta sedang berada di kamar sendirian, ia sedang duduk di atas kasur dan laptop yang ia letakan di pahanya. Pria itu sedang menonton olimpiade renang dengan Rizal yang menjadi perwakilan sekolahnya. Saat melihat medali yang terpasang di leher Rizal, Gasta merasa dibuat iri olehnya karena berfikir jika Rizal adalah pria paling beruntung di dunia karena telah memenangkan Olimpiade Nasional itu.

Gasta menolehkan pandangannya pada lemari kaca, dimana di dalamnya terpajang sebuah sertifikat dan piagam yang ia raih dalam ajang Cerdas Cermat Fisika dan Kimia. Juga dua piala yang ia raih karena dua kali mendapat peringkat paralel.

"Ngapain gue harus iri ke dia? Apa yang dia punya dan gue gak punya?" monolog Gasta.

Dia punya Ayah, dia juga punya Rhesa, dan dia punya segalanya yang tidak dimilikinya.

Tidak seharusnya Gasta iri dengan Rizal. Jika dibandingkan pun prestasi Gasta lebih banyak dari Rizal. Semua orang punya bakat dibidangnya masing-masing, Gatsa yang pintar dalam pelajaran namun tidak handal dalam olahraga, begitu juga Rizal yang tidak bisa mengusai mata pelajaran terkecuali olahraga. Dan ingat ketika Rizal dan Gasta bertanding futsall dan timnya Rizal menang? Setiap manusia sudah diberi porsinya masing-masing.

Setelah vidio itu berakhir, Gasta kemudian menutup laptopnya dan meletakannya di atas nakas. Pria itu beranjak dari ranjang dan berjalan mengambil jaket hitamnya yang terselampir di meja belajarnya. Sambil mengenakan jaketnya, ia berjalan cepat menuruni puluhan anak tangga.

"Kemana kak?" tanya Manda ketika melihat putra sulungnya terlihat tergesa-gesa.

"Ke rumah Aji." kilahnya.

Ketika berada di luar rumah, ia mendapati motor sport hitam yang terparkir di atas rerumputan. Selama beberapa hari belakangan ia memang tidak memakai lagi motor itu, terakhir setelah menjemput Rhesa, dimana saat itu Rizal mengatakan motor itu bukan miliknya. Dia mungkin agak sensitif dengan ucapan Rizal waktu itu.

Gasta berlalu meninggalkan motor yang biasanya selalu ia bawa kemanapun dan dimanapun. Ia memilih menaiki bus umum saja untuk pergi ke tempat tujuannya, yaitu rumah sakit. Gasta memang berniat menemui Rhesa untuk mengetahui kondisinya.

Sesampainya di rumah sakit, ia menuju ke tempat resepsionis untuk menanyakan keberadaan ruangan Rhesa. Setelah mengetahui tempatnya, pria itu langsung melangkahkan kakinya menju ruangan yang dimaksudkan tadi. Sesampainya di ruangan itu, ia langsung masuk ke dalamnya. Ruangannya sepi, hanya ada Rhesa yang tertidur di ranjang dengan di temani suara dari layar monitor pendeteksi detak jantung. Gasta lantas berdiri di sebuah kursi yang ada di samping ranjang Rhesa.

Gadis itu terlihat cantik meski sedang tertidur. Hanya karena Rhesa menyukai Rizal, Gasta merasa jika Rizal sudah memiliki segalanya.

Melihat ruangan yang sunyi serta suara monitor yang terus berdetik mengingatkannya kejadian lampau, kejadian yang sebenarnya tidak ingin dia ingat lagi. Gasta menundukan kepalanya menahan pilu di masa lalunya yang membuatnya merasa marah dan sedih ketika mengingatnya.

Detakan ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang