"Aku yang banyak menelan kenyataan pahit hanya mengharapkan masa depan indah menanti, bahkan sampai di ujung malam terakhir mimpiku. Dimanapun aku berada, jantungku berdetak karenamu."
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Rhesa dirawat hanya dua hari di rumah sakit setelah Zidan menemukannya tidak sadarkan diri di bangku taman malam itu. Ia tentu kecewa karena Rizal tidak datang malam itu untuk mengambil almamaternya, selama dua hari tidak berangkat, Rhesa memiliki dua kekhawatiran yaitu tidak membawa almamater milik Rizal dan juga tidak membawa tugas dari Liza dan Maura, sudah dipastikan bagaimana ia saat di sekolah nanti.
Sehari setelah Rhesa keluar dari rumah sakit, ia berkeinginan untuk kembali ke sekolah. Meski Mina sudah menyarankan untuk tinggal di rumah beberapa hari saja, Rhesa menolaknya dengan alasan tidak mau ketinggalan pelajaran. Pagi itu di hari selasa, baru saja Rhesa berdiri dari duduknya setelah selesai memakai sepatu berwarna putih miliknya, ia kemudian berbalik badan hendak berpamitan pada ibunya untuk berangkat sekolah dan kebetulan sang ibu memang sedang berjalan keluar dari pintu sambil membawa sebuah kantong berisikan obat di tangannya.
"Eh? Ibu," sahut Rhesa.
"Kamu, ya! Ini obatnya jangan sampai ketinggalan," tutur Mina agak kesal.
Rhesa menanggapinya dengan berseringai seraya menggaruk kepalanya yang tidak gatal, ia memang ceroboh dan sering lupa membawa obatnya hingga selalu berakhir di ranjang rumah sakit, dan itu membuat Mina kesal dan selalu mengkhawatirkan putri sulungnya.
Mina lalu menyerahkan kantong yang dipegangnya tadi pada Rhesa. Kantong itu berisi obat milik Rhesa yang jumlahnya tidak sedikit. Setelah menerima kantong dari Mina, Rhesa pun memasukannya ke dalam ransel miliknya.
"Mau dianterin ibu?" tawar Mina.
"Aku mau naik sepeda aja. Sekalian olahraga," tolak Rhesa.
"Bagus dong, biar sehat," ucap Mina.
"Tapi itu gak menjamin aku sembuh,‘kan?" sarkas Rhesa.
Raut wajah Mina berubah menjadi suram. Mengingat jika putrinya itu sulit sekali disembuhkan. Ia harus bolak-balik ke rumah sakit untuk menstabilkan kondisinya, dan biaya yang keluarkan untuk pengobatannya pun tidak main-main. Oleh karena itu, Mina sebagai ibu rumah tangga sekaligus tulang punggung keluarga selalu sibuk bekerja demi menghidupi anak-anaknya. Meskipun lelah, wanita itu tidak putus asa demi kesembuhan putri sulungnya.
Benar, Rhesa merupakan gadis cantik berusia 17 tahun pengidap infark miokardial sejak lahir. Memang takdir sudah menetapkan jika ia terlahir dengan kesehatan yang kurang baik lantaran penyakit tersebut merupakan warisan dari mendiang ayahnya.
"Ah! Ayolah, Bu. Aku cuma bercanda. Jangan anggap serius, oke?" kata Rhesa dengan menyatukan jari telunjuk dan ibu jarinya.
Mina tersenyum tipis menatap putrinya. Sebelum Rhesa pergi meninggalkan rumah, gadis itu menyempatkan diri untuk mencium pipi ibunya sekilas.
"Aku berangkat dulu, bye." timpal Rhesa.
Rhesa kemudian berangkat mengayuh sepedanya menuju sekolah. Selama sepeda itu melaju, gadis itu tersenyum ceria ketika merasakan hawa pagi yang begitu menyejukkan. Hari masih begitu pagi, belum banyak kendaraan bermotor yang berlalu lalang dan polusi juga masih sedikit.