BAB 17 - Bertamu

242 28 0
                                    

Pagi itu di halaman hijau kediaman Saad, Professor Yislam datang untuk minum teh bersama Tuan Saad. Professor yang sudah tidak muda lagi itu tertarik dengan perkebunannya palawija milik keluarga Saad. Ia bertamu dengan hormat bersama anaknya Rendjhani Karunasankara.

"Aku tidak menduga kedatanganmu Professor. Silahkan duduk, maaf bila kursinya sedikit keras. Padahal aku sudah meminta pelayan untuk menggantinya dengan sofa empuk bukan jati." Hamish tertawa bersama Professor Yislam dan segera memanggil pelayannya.

Kedua tamu itu duduk dan berbincang dengan antusias. "Jadi luas sekali perkebunan keluarga Saad. Bagaimana cara kalian mengelolanya?" tanya Professor Yislam penasaran. Rawut wajahnya tercetak tidak percaya dengan apa yang telah dicapai oleh keluarga Saad.

"Kami memperkerjakan penduduk sini untuk bekerja. Mereka tinggal di ladang, mereka yang mengelola seperti kebun mereka sendiri. Hasil-hasil panen nantinya akan dijual dan mereka akan mendapat sebagian dari hasil panen itu. Kini pekerja yang bekerja di perkebunan kami sudah mencapai 451 pekerja," ucap Hamish menjelaskan dengan pelan kepada Professor Yislam.

"Banyak sekali, apakah akan terus bertambah?"

"Akan terus bertambah. Di sebelah sana—nanti akan aku tunjukkan lahan baru yang akan di buka. Tanahnya cocok sekali untuk cabai dan bawang akan ada pekerja baru. Mungkin juga di danau kami nanti akan ada benih-benih ikan laut tawar. Aku ingin sekali memperbesar bisnis ini, agar para penduduk lokal disini dapat bekerja dan mendapat penghasilan besar untuk menghidupi keluarga mereka."

Professor Yislam menggeleng kagum dan berkata, "Kamu benar-benar memakmurkan tempat tinggalmu."

"Aku telah berjanji kepada ayah dan kakakku. Jika aku diberikan harta yang berlimpah, aku akan selalu mensyukurinya dengan cara memberikan sedikit hartaku kepada yang membutuhkan. Dengan itu mereka juga dapat mensejahterakan keluarga mereka. Ya beginilah, harta itu hanya titipan. Kita hanya harus pintar mengelolanya." Hamish menyesap tehnya dan berterima kasih kepada pelayannya.

"Sungguh aku mendapat pelajaran baru. Jika aku ingin bekerja sama, kerja sama seperti apa yang akan kita lakukan?" tanya Professor Yislam bersemangat.

"Jika Professor ingin berbisnis denganku, kita dapat berbicara dengan rekan-rekanku yang lain. Bisakah kita pergi sekarang? Pagi hari biasanya kami akan berkumpul dan membicarakan masa depan perkebunan kami," ajak Hamish lembut.

Dengan senang hati Professor Yislam menerimanya. "Em, aku akan memanggil Aghnia untuk menemanimu, Tuan Karunasankara." Hamish pamit kepada Rendjhani dan membawa Professor Yislam ke ruang pertemuan mereka.

Rendjanhi memilih untuk menyesap tehnya dan menunggu wanita itu datang.

***

Di kamarnya Aghnia dikejutkan oleh ketukan di pintu. "Nyonya Saad. Ada tamu untuk Anda, Tuan Karunasankara, Nyonya."

"Oh, pagi-pagi? Ada apa?" tanya Aghnia segera memakai selendangnya.

"Keluarga Karunasankara bertamu.  Tuan Saad sedang ada pertemuan dengan Professor Yislam. Beliau meminta saya untuk memanggil Nyonya—untuk menemani Tuan Karunasankara."

Aghnia mengangguk, "Baiklah. Terima kasih Rumi. Apa hidangannya sudah dihidangkan?"

"Sudah, Nyonya." Rumi mengangguk lembut.

"Baiklah, terima kasih banyak. Kita harus menjamu tamu kita seperti raja. Pastikan setelah selesai di bakar hidangkan pulot nya," ujar Aghnia mengingatkan Rumi. Karena setahunya makanan yang terbuat dari nasi ketan yang dibalut daun pisang lalu dibakar itu aromanya sedap sekali dan rasanya tidak perlu diragukan.

"Baik, Nyonya, akan saya antar setelah pulot nya selesai di bakar."

Aghnia menyampirkan selendangnya dan menyapa Rendjanhi dengan penuh senyuman. "Pagi-pagi sekali kamu bertamu, Rendjanhi?"

"Ah, ayahku sangat penasaran dengan perkebunan kalian. Dia ingin sekali ikut bebrisnis. Hitung-hitung investasinya setelah pensiun nanti. Dia menginginkan hidup damai tinggal di tengah perkebunan. Mungkin dia akan belajar banyak nanti," kekeh Rendjanhi menyesap tehnya. "Ini teh terenak yang pernah aku cicipi."

Aghnia mendengus tertawa, "Ya itu buatan Rumi, pelayanan kami."

"O-oh aku pikir kamu yang membuatnya." Rendjanhi hampir saja tersedak. "T-tetapi ini tetap enak." Ia mengangkat cangkir itu dengan senyum kikuknya.

Aghnia tertawa kecil melihatnya dan Rumi datang membawakan pulot yang baru saja selesai dibakar itu.

"Kamu harus mencobanya. Ini enak sekali, di Kuta Radja kami sering memakannya. Cobalah," sodor Aghnia memberikan lipatan daun pisang yang berisi itu kepada Rendjanhi.

"Terima kasih, akan aku coba." Rendjahni membuka pelapis itu perlahan dan seketika aroma lezat menguar dari sana. "Tercium lezat sekali."

Gigitan pertama membuat Rendjahni berhenti sejenak untuk memeriksa rasa itu. "Apa ini? Unik sekali." Gigitan keduanya sampai dia menghabiskan pulot itu hanya dalam beberapa detik saja. "Ini lezat sekali," ucapnya dengan mulut yang penuh. "Bolehkah aku membawanya pulang?"

Aghnia tertawa dan di saat yang bersamaan, Ayah dari Rendjanhi Karunasankara kembali bersama dengan Hamish Saad.

"Terima kasih banyak atas jamuan hari ini, Tuan Saad. Aku sangat menghargai jamuanmu." Professor Yislam menjabat erat tangan Hamish.

"Sama-sama Prof. Seringlah bermain, rumah kami selalu terbuka," kata Hamish dengan ramah dan tidak lupa senyum yang bersembunyi dibalik kumis tebalnya.

"Kamu sudah memakan pulotnya, Rendjanhi?" tanya ayah itu kepada anaknya.

"Sudah, aku memintanya lebih untuk dibawa pulang juga," kekeh Rendjanhi kepada ayahnya.

"Rumi, tolong bungkuskan pulotnya agar dapat dibawa pulang oleh Tuan Karunasankara," perintah Aghnia memanggil pelayannya.

"Baik, Nyonya." Rumi mengangguk patuh dan kembali dengan sebakul bungkusan berisi pulot.

"Silahkan dibawa pulang, Tuan Karunasankara," ucap Aghnia tersenyum menggoda kepada Rendjahni.

Rendjahni tertawa pelan sehingga beberapa giginya tampak. "Terima kasih, Nona Saad."

"Oh, jangan lupa nanti siang kita akan berburu. Cuaca hari ini sedikit mendukung," imbuh Professor Yislam mengingatkan Hamish.

"Berburu? Apa aku boleh ikut?" tanya Aghnia yang membuat kedua ayah dan anak itu menaikkan sudut alis mereka.

"Tentu saja, Nona Saad. Kamu boleh bergabung," balas Professor Yislam rendah hati.

Aghnia menaikkan alisnya kepada Rendjanhi yang masih heran melihatnya.

"Aku pulang dahulu? Kita bertemu di sabana, siang nanti," pamit Rendjanhi kepada Aghnia sebelum dia naik ke atas kereta kudanya.

TBC

Aroma Kencan Abrata - Tamat | Abrata Series #02Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang