BAB 20 - Mawar

273 24 0
                                    

Pagi itu, Keumala bersama dengan penari lain. Berlatih tari di aula pendopo Madjakarta yang baru. Pendopo itu terlihat sejuk dengan pohon beringin yang tumbuh besar di halamannya. Membentuk lingkaran untuk jalan setapak yang ditumbuhi melati. Keumala meliukkan pinggangnya mengikuti iringan gamelan yang mengiringi mereka. Tangannya lentik, lembut, bergerak mengayun ke atas dan kebawah. Selendang merah muda yang digunakannya terlihat tersibak ketika dia memainkan tangannya.

Tarian mereka cukup serentak, bahkan pelatih tari yang menilai mereka terlihat bangga akan kerja kerasnya. Para penari ini akan tampil di acara peresmian Pendopo baru Madjakarta yang diberi nama Pendopo Gatri Ratna, sesembahan untuk leluhur Ratu Isyana yang berjasa akan kejayaan Madjakarta dari tangan Olanda.

Beberapa pekerja masih menyelesaikan pengecekan kayu pada pilar-pilar, dan melakukan penyelesaian lainnya. Seperti menyiapkan alat musik yang lebih banyak, panggungan untuk wayang, menata kursi dan meja yang akan digunakan, serta penyelesaian lampu-lampu teplok yang temaram. Tidak lupa menghias lantai keramik dengan motif batik mega bendung di tengah lantai tari.

Setelah berlatih sampai siang, Keumala beristirahat di kursi kayu yang berada di bawah beringin. Ia mengipas diri dengan tangan, dan menikmati sejuknya air yang dibawakan oleh pelayan pendopo. Mata Keumala menyipit ketika menyambut Caiden yang baru saja tiba di pendopo.

"Nona Keumala, selamat siang," sapanya sambil menurunkan topi yang sedang ia pakai.

"Tuan Abrata," balas Keumala lembut.

Caiden melihat rawut bingung dari wajah Keumala dan dia berniat ingin menjelaskan tujuannya datang ke pendopo, "Aku tahu kamu di sini dari seorang pelayan. Gerangan aku datang kemari adalah guna untuk meminta maaf atas kedatanganku ke rumahmu tempo hari."

"Aku minta maaf karena tidak bisa menyapu dengan baik dan aku juga tidak membawa buah tangan yang berarti. Karena itu aku membawakanmu, mawar dari emm, aku beli di pasar tadi," jelas Caiden terbata. Kini dia menganggap dirinya sendiri seperti orang bodoh.

Keumala menjulurkan tangannya, berterimakasih, "Aku menghargai setiap tindakanmu, Tuan Abrata. Sungguh kamu baik sekali." Perempuan itupun menghirup aroma mawar yang diterimanya. "Harumnya, menenangkan."

"Syukur, kamu menyukainya. Aku sulit sekali tadi memilih mawar terbaik untukmu, Nona Keumala."

Tentu saja itu sulit karena dia harus memapah Aghnia yang tidak bisa naik ke atas kuda mereka. Di pasar tadi, Caiden melihat seorang anak menjual berbagai macam bunga. Ia iba melihat anak itu yang harus melakukan pekerjaan orang dewasa. Anak itu sepertinya lebih muda dari adiknya, Fulmala. Pakaiannya lusuh, rambutnya kaku, tetapi senyumannya begitu tulus. Hal itu yang membuat Caiden tergerus ingin membeli di tempatnya.

"Aghnia, aku akan membeli beberapa bunga untuk di bawa pulang."

Aghnia yang terseok terpaksa harus berhenti. Sedari tadi Caiden menghalangi jalannya, karena pria itu tidak ingin Aghnia dilukai para pejalan. Pria itu dengan posesif berjalan di samping jalan, sedangkan Aghnia yang mendekat ke gerai-gerai yang lebih sedikit kontak dengan orang-orang.

"Baiklah, tetapi jangan lama. Aku harus segera istirahat, kaki ini sangat tidak nyaman," tutur Aghnia lalu duduk di atas kotak yang dipenuhi jerami. Itu mungkin bukan tempat duduk, tetapi Aghnia merasa ia harus mengistirahatkan bokongnya.

Caiden sedang memilih bunga disaat Aghnia juga mengikuti pergerakan pria itu dengan matanya. Di dalam hatinya Aghnia menggerutu, pria itu bukan sedang memilih bunga. Melainkan sedang mengartikan setiap bunga yang ada di sana.

"Ini akan lama, bukan begitu?" Suara Aghnia membuat Caiden menjulurkan tangannya, berpura-pura mengambil beberapa bunga.

"Tidak, aku hanya akan mengambil apa yang terlihat saja." Caiden sebenarnya bingung dengan pikirannya. Bunga apa yang pantas ia berikan kepada perempuan yang ingin dia dekati. Aksi seperti apa yang dapat membuat pipi perempuan bersemu kemerahan seperti mawar yang baru saja mekar.

Aroma Kencan Abrata - Tamat | Abrata Series #02Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang