Pergelaran wayang itu digelar di Pendopo Agung—bangunan yang baru saja selesai dikonstruksi. Besarnya bukan main untuk menampung seluruh bangsawan di Batavia. Ukiran-ukiran khas Madjakarta terukir di sepanjang atap bangunan itu. Lantai keramik yang bercorak Kawung senada dengan warna kayu-kayu yang memilari pendopo.
Sang Dalang memasuki pendopo, kelir yang terbentang begitu terang karena blencong di hidupkan. Dalang itu menancapkan wayangnya di atas batang pisang dibagian kiri dan kanan gawung. Sehingga membentuk simpingan yang menarik. Malam ini lilin-lilin yang dihidupkan cukup sedikit. Hanya cahaya dari balik kelir yang menerangi dengan sempurna pendopo itu.
Pertunjukan dimulai, para pemain gamelan memulai alunan lembut, ditambah suara pesinden yang mendayu membawa suasana remang-remang itu semakin terbenam.
"Bagaimana pergelarannya, Nona Keumala?" tanya Pangeran dan Keumala Saad sangat senang.
"Menyenangkan, Pangeran. Aku jadi tahu cerita Ramayana. Aku jadi takut ke hutan dan bertemu dengan Rahwana."
"Kenapa Nona Keumala? Kamu tidak perlu takut, aku akan menyelamatkanmu dari iblis jahat."
"Pria manis, manipulatif itu sangat menakutkan, Pangeran. Bagaimana nantinya jika aku termakan tipu muslihatnya dan salah memilih?"
Pangeran menatap Keumala dengan hangat, "Aku akan selalu ada, Nona Keumala. Percayalah, aku akan melindungimu dari pria manis yang pintar bersilat lidah."
Kedua sudut bibir Keumala tertarik ke atas dan lagi, pipinya bersemu kemerahan.
"Bagaimana jika Ramayana gagal menyelamatkan Sita dari Rahwana. Pasti dia sudah menikah dengan iblis jahat itu, bukan begitu?" tanya Keumala kepada Pangeran dengan penasaran.
Pangeran Radjendra berpikir keras. "Tetapi usaha itu tidak akan mengkhianati hasil. Ramayana telah berjuang keras mendapatkan cintanya kembali. Aku percaya kekuatan cinta itu selalu ada. Jikapun, Ramayana gagal menyelamatkan Sita, dia pasti dapat menyelamatkan dirinya sendiri."
"Bagaimana?"
"Cinta, Nona Keumala. Kekuatan cinta Sita kepada Ramayana akan menyadarkannya."
Percakapan itu terusik, oleh kedatangan Abrata Caiden yang entah dari mana. "Oh, maaf. Tetapi bolehkah aku berbicara dengan Nona Keumala sebentar?"
Pangeran Radjendra dengan senyum manisnya. "Tuan Abrata, apa kamu sudah membuat janji dengan Nona Keumala?"
Abrata Caiden melirik Keumala dengan bingung. Bibirnya tergagap dan akhirnya Keumala membantunya. "Ini mengenai kakakku, Pangeran. Bolehkah aku sebentar saja berbicara dengan Tuan Abrata?"
Pangeran Radjendra menghadap Keumala dan mengangguk, memperbolehkan. "Hanya sebentar, banyak yang harus kita bicarakan dari pergelarannya, Nona Keumala."
Keumala Saad tersenyum manis dan mengikuti Caiden yang membawanya ke alun-alun pendopo. Bersama dengan pelayannya, Keumala mengikuti pria itu.
"Ada apa Tuan Abrata?"
"Tidak, hanya ingin melihat pohon ini bersamamu," ucapnya canggung. "Lihat, ini adalah pohon beringin."
"Ya aku tahu, Tuan Abrata." Suasana dingin dan tegang. Keumala menjadi bingung untuk apa dia disini sebenarnya. Jantungnya terasa tertekan dan kakinya lemas.
Caiden ikut canggung karena dia tidak tahu harus berkata apa. Beberapa menit hanya memandangi pohon rindang itu dengan ... Keumala akhirnya menyudahi kegiatan aneh mereka. "Aku sepertinya harus kembali. Pangeran Radjendra mungkin mencarimu."
Ketika Keumala akan pergi, Caiden menarik lengan gadis itu dan mencegatnya dengan takut, "Tunggu."
"Bagaimana keadaan kakakmu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Aroma Kencan Abrata - Tamat | Abrata Series #02
Historical FictionAroma Kencan Abrata. All right reserved ©2021, Ani Joy KONTEN DEWASA (18+). KEBIJAKSANAAN PEMBACA DISARANKAN. PEKERJAAN INI TELAH MENGIKUTI WATTPAD PEDOMAN UNTUK RATING DEWASA. Berawal dari tawaran, dua anak adam membuat tawaran perjanjian yang terp...