"Rendjanhi kamu terlihat bersemangat mendayung perahu tadi," ucap Aghnia menahan tawanya.
"Ya, aku hanya terlihat bersemangat. Aku dipaksa mengikutinya, kata Papa agar aku terlihat lebih hidup. Memangnya aku terlihat seperti orang mati?" gerutunya cemberut dan mendayung perahu dengan pelan menyusuri sungai.
Aghnia terkekeh, "Bisa jadi seperti orang mati. Karena kamu cukup dingin dengan orang asing. Bahkan wajahmu terlihat tidak bersahabat."
"Aku hanya tidak terbiasa dengan orang dewasa. Mereka sangat palsu dan penuh kebohongan. Wajah mereka itu terlihat jelas untuk menjilat," sinis Rendjanhi dan mendayung dengan kasar.
"Jika tidak menjilat bagaimana bisa kita menjalin hubungan dengan mereka, Rendjanhi?"
"Bukan begitu, Aghnia. Aku hanya tidak suka basa-basi yang berlebihan. Seperti kata-kata pujian yang akhirnya mengharapkan sesuatu. Bukankah itu penjilatan karena mereka ingin bagian yang mereka inginkan?"
Aghnia mengangkat bahunya pelan dan berkata dengan lembut, "Setiap orang pasti mempunyai tujuan. Dan tujuannya itu bisa tercapai dengan bantuan orang lain yang sedang mencari tujuannya juga. Intinya semuanya saling membutuhkan, seperti berdagang di pasar. Aku punya roti untuk ditukarkan dengan bunga, dan pedagang lainnya menyahut aku punya kalung emas yang kehilangan pengaitnya sementara kamu punya pengait untuk mengaitkannya."
"Semuanya hanyalah simbiosis mutualisme," kata Rendjanhi dengan tawa renyahnya.
Aghnia sedikit was-was karena perahu mereka terplalu dekat dengan perahu lainnya. "Rendjanhi awas!" seru Aghnia ketika sebuah perahu dengan cepat menabrak mereka.
Aghnia tersentak dan perahu mereka terdorong cukup jauh ke tengah. Perlahan air mulai masuk dari benturan tadi yang menimbulkan rongga di lambung perahu. "Kita harus kembali jika tidak perahu ini akan menenggelamkan kita."
Rendjanhi mendayung dengan cepat menuju hilir sungai. Mereka masih berbincang sampai akhirnya mendekat ke hilir sungai. Di sana ada sebuah tempat pemberhentian yang terbuat dari bambu. Rendjanhi turun terlebih dahulu dan mengikatkan tali perahu ke bambu. Namun, sial. Perahu lainnya yang sedang mencoba menepi menabrak kembali perahu mereka sehingga Aghnia yang akan meraih tangan Rendjanhi kehilangan keseimbangannya dan tercebur ke dalam sungai.
"Aghnia?!" Rendjnhi begitu panik dan ikut menceburkan diri. Namun ia lupa, bahwa dirinya tidak dapat berenang dan hanya menyusahkan dirinya sendiri dengan mengharap ada seseorang yang menariknya karena Rendjanhi merasa tubuhnya terus ditarik ke dalam.
Aghnia tersentak dan tercebur ke dalam air sungai yang tenang. Tangannya mencoba meraih tubuh Rendjanhi yang berada di atasnya. Aghnia tidak panik, keruhnya air sungai membuat pandangannya tidak sempurna. Kepala Aghnia sangat sakit karena tubuhnya bukan naik malah semakin masuk ke dalam sungai.
Sekelebat ingatan masa lalunya seketika hadir. Aghnia merasakan tangan itu, tangan besar yang menahan kepalanya masuk ke dalam bak mandi porselen yang baru saja dipakainya untuk mandi. Aghnia meronta dan tubuhnya panik. Dia berteriak di dalam air dan tidak ada satupun yang mendengarnya.
Karena mulutnya yang terbuka, air itu masuk ke dalam saluran pernapasannya dan membuat napas Aghnia tercekat. Aghnia sangat takut, sangat.
Wanita itu terus berteriak. Matanya memerah dan bayangan pria itu menghantuinya. Aghnia sangat takut, Aghnia takut akan kekejaman pria itu yang menceburkannya ke dalam air.
Tolong..
Tolong aku...
Aghnia hanya dapat berteriak di dalam hatinya karena mulutnya kini tertutup. Dia pasrah dan matanya mulai menggelap.
Samar-samar ia mendengar suara seseorang memanggilnya. Sayup matanya melihat pria itu, pria yang selalu ada untuknya.
***
Suara tercebur yang begitu besar itu membuat beberapa orang panik dan berlarian ke tempat kejadian. Caiden dengan cepat mencari perahu yang Aghnia naiki dan tidak dapat menemukan wanita itu. Caiden berlari dengan cepat dan tanpa melepas baju serta sepatunya ia melompat ke dalam air.
Caiden menarik lengan wanita yang melemas di bawah kekeruhan air berarus itu. Caiden sangat marah, kenapa wanita itu tidak berenang ke atas dan pasrah akan nasibnya. Bukankah beberapa hari yang lalu wanita itu cukup kuat untuk melaksanakan misinya. Tidak mungkin dia tidak dapat berenang.
Caiden meletakkan tubuh wanita itu dan memompa dadanya. "Bangunlah! Aghnia! Sadarlah!" Caiden sangat panik dan tidak peduli dengan tatapan semua orang kepadanya. Bahkan ketika pria itu memberikan napas buatan kepada Aghnia Saad, semua pengunjung sore itu tercengang dan saling berbisik.
"Nona Saad, kembalilah," lirihnya dan terus memompa dada Aghnia.
"Cut Kak!!!" teriak Keumala berlari menuju kakaknya dan membuka kerumunan itu.
"Aghnia?!" Hamish memeluk Keumala dan menenangkan perempuan itu. Sorotannya cemas dan berharap kepada penolong itu agar dapat menolong keponakannya.
"Astaga, Nona Saad." Kepanikan juga melanda ibu dari Abrata Caiden yang terlihat sangat khawatir.
"Kita harus memanggil dokter," ucap Dhara, sigap menarik Rendjanhi yang masih mengatur napasnya setelah tenggelam tadi. "Kamu seorang dokter bukan?"
Rendjanhi juga ikut tercengang ketika Caiden memberikan napas buatannya kepada wanita itu. "Apa yang kamu lakukan, lakukan sesuatu!" teriak Caiden kepada Rendjanhi.
Semuanya tersentak dengan teriakan Caiden. Terutama Keumala yang sangat terkejut dengan reaksi dari pria itu ketika kakaknya tidak sadarkan diri. Keumala ingin marah, ia begitu kesal. Tetapi satu sisi dia sangat khawatir, dia, bingung.
"Yang kamu lakukan sudah benar, Tuan Abrata. Pertolongan pertama pada orang yang tenggelam." Rendjanhi mendekat dan berkata, "teruslah memompa dadanya."
Caiden semakin cepat dan berharap sepenuh hatinya kepada Tuhan untuk mengembalikkan Aghnia Saadnya.
"Bagaimana jika dia tidak kembali?!" seru Keumala menangis tersedu
"Dia akan kembali." Caiden dengan yakin memandang wajah Aghnia yang memucat.
"Tuan Karunasankara, apa bisa kita membawanya ke rumah sakit?" tanya Haniya khawatir tetapi tetap dengan nada lembutnya.
"Tentu saja, Nyonya Abrata." Rendjani terengah. "Tetapi kita harus menolong dulu disini sampai air itu keluar dari mulutnya."
Kejadian itu begitu cepat. Aghnia terbatuk dan kembali bernapas. Muntahan air itu membuat Aghnia dapat membuka matanya dan orang pertama yang dia lihat adalah wajah cemas Abrata Caiden yang basah kuyup dan apa itu, air mata?
***
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Aroma Kencan Abrata - Tamat | Abrata Series #02
Historical FictionAroma Kencan Abrata. All right reserved ©2021, Ani Joy KONTEN DEWASA (18+). KEBIJAKSANAAN PEMBACA DISARANKAN. PEKERJAAN INI TELAH MENGIKUTI WATTPAD PEDOMAN UNTUK RATING DEWASA. Berawal dari tawaran, dua anak adam membuat tawaran perjanjian yang terp...