Aghnia terbangun dari tidurnya. Matanya terasa berat dengan kepala yang pusing. Aghnia mengambil cangkir air, lalu meneguknya. Tangannya tergerak memegang kepalanya, menopang seluruh wajahnya dan mendesah berat. Aghnia bangkit, berjalan perlahan ke arah cermin besar di lemari jatinya.
Ia menurunkan perlahan, kerah jubah tidurnya, rambutnya yang tergerai panjang disampirkan terlihat di sekitar leher sampai dengan selangka, memar yang sudah membiru. Aghnia meraba memar itu dan menatapnya dengan kosong. Kemudian dia menyingkap jubah tidurnya, dan memar yang sama, membiru di perut sebelah kananya.
Aghnia menutupnya dengan cepat lalu bergegas menyucikan dirinya. Wanita itu mengambil batu gosok dan menggosok seluruh tubuhnya, menggosoknya dengan kuat dan kencang. Dan tanpa Aghnia sadari dirinya telah terluka untuk sekian kalinya. Aghnia menggeram dan menggosok seluruh tubuhnya yang telah disentuh oleh pria bejat yang mengaku sebagai suaminya.
Aghnia terduduk dengan bersimpuh dengan erangan yang sungguh pilu. Air matanya tidak terbentuk diapun berteriak dengan kencang dan memeluk dirinya sendiri. Aghnia pikir dengan berlari ke Batavia akan membuat hidupnya lebih baik. Ternyata... dengan berlarinya dia ke Batavia membuat hidupnya jauh lebih buruk dari perkiraannya.
***
Dirumah Abrata, Cauden yang sedang bersama Bhalendra mencukur rambut mereka di tempat cukur khusus para bangsawan terlihat mendecak kesal. Sedari tadi dia resah dan terus menatap cermin dengan kernyitan dalam. Bahkan Bhalendra yang baru saja sampai tadi pagi terlihat asyik bersender di kursinya menikmati sensasi cukur di kepala, dan bagian janggutnya.
Ketika decakan itu entah sudah keberapa kalinya. Bhalendra membuka matanya dan melirik sekilas, "Apa yang membuatmu terus mendecak, kakak?"
"Entahlah, ada yang menggangu pikiranku."
"Apa itu?"
"Apa kamu mengenal, Teuku Sulaiman? Namanya tidak asing," decak Cauden lagi.
"Ah, saudagar dari Kuta Radja itu? Orang-orang memanggilnya Ampon Leman mungkin kamu tidak asing dengan nama itu? Beberapa kali, dia terlihat memasang nama di Senopati," jawab Bhalendra setelah berpikir cukup lama.
"Oh, aku mengingatnya. Pria yang menginginkan lapangan pacu kuda Senopati menjadi miliknya," decih Cauden. "Dia pikir dia bisa mengambil Senopati dariku?" Hidung Cauden berkedut dan mencoba menikmati hari cukurannya.
Semakin dia menutup mata, semakin muncul Teuku Sulaiman yang menyiksa Aghnia di pikirannya. "Sialan," geram Caiden tertahan. Tangannya mengisyaratkan agar tukang cukur itu segera menyelesaikan cukurannya.
"Ada apa, kakak? Apa ini menyangkut tentang Kembang Kamboja yang sedang ramai dibicarakan itu?" Bhalendra menatap Caiden dari cermin. "Aku dengar dia digosipkan sedang menarik perhatianmu. Kapan kamu akan melamarnya?"
Caiden mendesah berat dan panjang, "Kapan aku siap."
"Ayolah, mau sampai kapan?" Bhalendra tertawa geli dan berkata, "Apa ini ada hubungannya dengan kakakknya? Aku lihat kakaknya seperti sangat protektif terhadap adiknya. Dia begitu temperamen terhadap apa yang tidak sejalan dengan keinginannya."
Caiden menyungging senyum, setuju dengan perkataan Bhalendra. "Ya, kakaknya." Jari Caiden bergerak kepada Bhalendra. Dia melepas handuk di lehernya dan segera pergi dari sana sebelumnya dia berpesan kepada Bhalendra, "Masukkan tagihan untuk bulan ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Aroma Kencan Abrata - Tamat | Abrata Series #02
Ficción históricaAroma Kencan Abrata. All right reserved ©2021, Ani Joy KONTEN DEWASA (18+). KEBIJAKSANAAN PEMBACA DISARANKAN. PEKERJAAN INI TELAH MENGIKUTI WATTPAD PEDOMAN UNTUK RATING DEWASA. Berawal dari tawaran, dua anak adam membuat tawaran perjanjian yang terp...