Caiden hadir di kediaman Saad siang itu. Dia terlihat tidak tenang dari rawut wajah mengkerut nya. Setelah berbicara dengan Keumala, Caiden tahu dimana wanita itu sekarang. Mengurung dirinya, dan bersembunyi di sana.
"Keumala, apa kegiatanmu hari ini?" Caiden bergerak gelisah seraya mewanti kedatangan wanita itu dari kamarnya.
"Tidak banyak, mungkin akan makan siang di danau bersama dengan keluarga Profesor Yislam," jawab Keumala tersenyum lembut. Tangannya terampil menuangkan teh hangat di cangkir Caiden yang mulai kosong.
"Oh," balas Caiden pelan. Kepalanya tidak berputar dari tadi. Ia terus memandangi kamar kakak dari Cut Keumala Saad.
Keumala yang terganggu pun berkata dengan sedikit kesal, "Cut Kak tidak akan keluar dari kamarnya. Dia sedang tidak enak badan."
Caiden mengangguk dan menjawab dengan pelan lagi, "Oh."
Sementara Keumala masih kesal. Karena jawaban itu mengganggunya. Dan tatapan Caiden masih di sana. "Tuan Abrata apa kamu ingin makan siang di danau kami? Aku akan ke sana sekarang."
Keumala berdiri dan bersiap untuk mengikuti Rumi dan pelayan lainnya yang sedang mempersiapkan makan siang ke danau.
Caiden ikut berdiri dan merapikan pakaiannya. "Oh, tidak perlu. Aku hanya ingin menemuimu. Nikmatilah makan siangmu, Nona Keumala. Sampai nanti." Caiden melepas topinya dan keluar dari kediaman Saad.
Di sepanjang perjalanan pulang kepala pria itu penuh dengan Aghnia dan Ampon Leman. Bagaimanapun pria itu telah membuat Aghnia tersiksa. Caiden ingin sekali membalasnya. Pria itu membuta seorang wanita terluka, itu sungguh mengusik pikiran dan hatinya. Bagaimana bisa pria begitu kasar kepada wanita.
Di dalam kamusnya tidak ada pria yang boleh menyakiti seorang wanita, berlaku kasar? Itu bukanlah cara pria memperlakukan wanita. Caiden butuh melampiaskan seluruh amarahnya, Caiden butuh pelampiasan.
Di Angke terdapat sebuah tempat yang dijadikan sebagai arena pertarungan. Siapa saja bebas masuk asal mempunyai banyak gulden untuk diberikan kepada pengelola. Caiden melepas beskap dan topinya. Ia masuk ke dalam petak arena yang terbuat dari kayu-kayu dan dihalangi oleh tali-tali tambang yang besar. Caiden menyuruh Sang Pengelola berotak uang—Murphi untuk mundur. "Carikan aku pria yang pantas berada di sini."
"Siapa Tuan?" tanya Murphi dengan seenaknya. Selinting daun yang Caiden yakini adalah penenang bagi pria itu di lepas dan diayunkan di hadapan Caiden.
"Siapa saja, aku tidak peduli!" Pria itu mendorong Murphi menjauh.
"Sebentar, kau! Kemari!" Murphi menarik pria malang itu yang entah dari mana ia dapat.
Pria malang itu, memasuki arena dan bersiap melawan Caiden yang penuh emosi. Penonton yang semula tipis kini berkerumun bersorak-sorai menyemangati pahlawan mereka. Caiden cukup marah dan memukul pria malang itu bertubi-tubi sampai tidak berdaya dan dinyatakan kalah.
Seluruh penonton bersorak ramai. Caiden dinyatakan menang dan keluar dari arena. "Terima kasih Murphi. Uangnya akan aku kirimkan setelah ini."
"Tuan ingin berkelahi lagi?"
"Tentu saja," jawab Caiden terengah.
Selagi Caiden beristirahat. Pria itu bertepuk tangan pelan, "Wah, wah, wah. Lihat pria Abrata yang sombong karena sudah memenangkan pertandingan."
Caiden mendongak dan mendapati Ampon Leman yang sedang mendekatinya. Pria itu mendecih, mengejek, "Ingin melihat kekuatanku, Abrata? Orang macam kamu ini akan sangat mudah dikalahkan."
Dada Caiden naik turun. Dia tidak terima direndahkan. "Kita lihat saja siapa yang akan meminta ampun."
"Pasangkan aku dengannya, akan aku bayar tiga lipat dari yang dia bayar kepadamu!" Tegasnya menarik kerah baju Murphi dan melepasnya dengan kuat lalu tertawa bersama dengan para pengikutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aroma Kencan Abrata - Tamat | Abrata Series #02
Historical FictionAroma Kencan Abrata. All right reserved ©2021, Ani Joy KONTEN DEWASA (18+). KEBIJAKSANAAN PEMBACA DISARANKAN. PEKERJAAN INI TELAH MENGIKUTI WATTPAD PEDOMAN UNTUK RATING DEWASA. Berawal dari tawaran, dua anak adam membuat tawaran perjanjian yang terp...