PROLOG

2.3K 94 5
                                    

Tamparan keras mengenai pipi lusuh wanita yang kini bersimbuh di hadapan suaminya. Tangannya terkepal, dan air mata sudah tidak dapat dikeluarkan, mati rasa, begitulah adanya. Melihat suaminya bersama wanita lain, wanita yang bukan istrinya, bercumbu mesra dan saling berbagi cinta. Belum lagi dengan berbagi suami dengan istri yang lain. Sakit, pasti. Luka lama yang mengering, di kupas, maka sakit lagi. Tetapi Aghnia tidak pernah merasakan sakit semenjak suaminya menikah untuk keempat kalinya.

Menjadi istri pertama adalah satu-satunya tekanan pada batin dan juga raga Aghnia. Satu persatu hal dia ikhlaskan, satu persatu perselingkuhan ia mencoba buta. Aghnia tidak meminta harta, dia tidak meminta ketampanan, dia juga tidak meminta janji, dia hanya meminta cinta dan kesetiaan.

Suami seperti apa yang menjanjikan cinta adalah landasan pernikahan mereka. Di awal berkata manis, setelah kehabisan dari manis itu, ia mengumpat sepah, pahit dan juga keji. Bukan satu dua kali pria itu bermain tangan, melayangkan pukulan dan makian. Memang suaminya adalah pria yang keras. Tetapi Aghnia tidak pernah menyangka, kekerasan sifatnya juga menjadi kelakuannya.

"Istri seperti apa kamu ini?! Kenapa kamu melarang-larang suamimu?! Kamu ini istri, tahu tempatmu, dan kamu harus tahu dimana letak kodratmu!"

Aghnia membuang wajahnya, ketika amukan dilayangkan kepadanya. Suara besar, dengan intonasi meninggi, ditambah tubuh suaminya yang mendominasi membuat Aghnia hanya dapat diam. Memejamkan matanya, berharap semuanya akan usai.

"Peurumoh hana meuphom adat![1] Layani suamimu selayaknya dia adalah raja. Kamu tidak berhak melarang ku. Dan jangan sekali-kali menggurui aku! Aku ini seorang suami, kamu harus patuh kepadaku!"

Aghnia mendengarnya, bisikan-bisikan dari luar kamar mereka. Pasti semua maduanya berada di depan pintu, menguping pembicaraan mereka. Ketiga istri muda itu saling berebut siapa yang harus berada di dekat pintu untuk menempelkan kuping mereka. Tentu saja istri kedua yang harus menempelkan telinganya. Sementara istri ke tiga dan ke empat menerima informasi dari bibir istri ke dua.

"Aku melakukan itu karena aku tidak mendapatkan apa yang aku inginkan darimu! Seharusnya kamu sadar harus melayaniku sebagai suamimu! Bukan membaca buku dan menulis surat yang entah siapa yang akan membacanya setiap hari!" Suaminya menarik rahang Aghnia, mencengkram rahang itu sehingga Aghnia ikut berdiri seiring dengan tingginya tarikan. "Mau setinggi apapun ilmu yang kamu punya. Kamu adalah perempuan, dan perempuan harus mengikuti kodratnya, membahagiakan suaminya," desis pria itu tajam dan melepaskan cengkeramannya pada rahang Aghnia.

Kumis tebalnya mengerut. Aghnia memejamkan matanya, tidak ingin melihat kelakuan suaminya selanjutnya. Jika ia menolak, maka ia akan diperlakukan lebih kejam dari ini. Suaminya mencium rahang yang ia cekik tadi, mencumbu lembut sampai ke bibir dan memuaskan dirinya sendiri.

Aghnia terdiam, sesaat ia merasakan bibir kasar itu tidak lagi menyentuhnya. Aghnia membuka mata, dan tepat, satu tamparan lagi mengenai pipinya sehingga membuat ia jatuh pingsan dan tidak sadarkan diri.

Aghnia terbangun di malam harinya, wajah lebamnya ia biarkan begitu saja. Dengan tertatih, kaki lemahnya berjalan ke sudut meja, mengambil kertas dan pena. Matanya mengedar untuk mencari panyoet[2], berbahan bakar minyak tanah dan dinyalakan menggunakan api. Aghnia menghidupkannya lalu meletakkan lampu teplok itu di atas meja.

Tangannya bergetar mengusap lembaran kertas lusuh yang memiliki banyak coretan. Aghnia membaliknya, ke jalan yang belum terisi coretan apapun. Saat ini hanya surat yang dapat membantunya. Jika di tanah kelahirannya dia tidak mendapat haknya maka dia akan mencarinya di tempat lain—Batavia.

Lembaran Terakhir
Surat Untuk Nyai Sri Maharaja Lankat di tempat.

Aku, Cut Aghnia Beutari Saad. Orang yang sering menyuratimu tetapi tak satupun suratku kamu balas. Ini mungkin surat terakhirku yang aku kirimkan ke Batavia, karena aku sudah tidak mempunyai harapan apapun. Aku lelah menjadi istri yang diperlukan secara tidak adil. Aku adalah perempuan berilmu, aku tidak seharusnya diperlakukan dengan kejam.

Aku menginginkan keadilan bagi semua kaum perempuan. Aku menginginkan desakan peraturan perkawinan kepada pemerintah Hindia Belanda segera di realisasikan. Karena kaum perempuan berhak mendapatkan perlindungan, kasih sayang dan juga cinta dari pernikahan monogami.

Aku meminta keadilan...

Aku menolak dan menentang keras peraturan bahwa pria diizinkan untuk berpoligami, karena mereka sama sekali tidak adil kepada istri-istri mereka. Aku menjumpai banyak suami yang berselingkuh dari istrinya serta penyimpangan lainnya dalam berumah tangga.

Dengan sangat rendah hati, aku memohon, agar iktikad ini dapat disampaikan kepada pihak-pihak yang mendukung penolakan ini. Begitulah surat ini di buat agar keberadaan komite ini dapat melindungi perempuan dalam sebuah ikatan perkawinan.

Aku tidak akan menyuratimu lagi, karena percuma saja. Tetapi setidaknya siapapun yang membaca surat ini, aku harap kamu mengerti kondisiku, dan semua perempuan yang sedang mengalami hal sama.

Cut Aghnia Beutari Saad, Kuta Radja.

Aghnia membaca suratnya sekilas, lalu ia lipat dan sedikit membakar ujungnya untuk menandakan suratnya. Setelah itu ia memasukkan surat itu ke dalam karung berisi biji kopi dan cokelat yang akan dikirimkan ke Batavia besok pagi. Suaminya adalah seorang toke kopi dan cokelat. Pria itu selalu mengirimkan hasil panennya, menjualnya ke Batavia dan Surabaya setiap tiga bulan sekali dan tepat hari ini, Aghnia mengirimkan suratnya lagi.

Sampai sekarang tak satupun suratnya di balas oleh Nyai Sri Maharaja Lankat, seorang aktifis perjuangan hak-hak perempuan di Batavia. Suaranya terkadang di dengar oleh pemerintah Hindia Belanda dan karena itu Aghnia memilih wanita itu untuk menyuarakan suaranya.

Jika Aghnia tidak mendapat kebebasannya di tanah rencong ini. Dia akan pergi kemanapun agar kebebasan dapat dipeluknya.

Di mana pun itu...

Surat itu sudah ia masukkan, Aghnia mencuci tangannya dan membasuh wajah pucatnya. Kemudian ia kembali ke kamar dan meniup panyoet itu sampai redup dan mati, meninggalkan sisa asap yang menari, bergelora di udara.

-

[1] Istri tidak memahami adat

[2] lampu teplok

-

A/N

Silahkan baca Abrata-Raden Mas dan Aku terlebih dahulu untuk mengenal para tokoh yang akan muncul.

Kalau tidak juga tidak apa-apa, terima kasih

Selamat membaca.

Aroma Kencan Abrata - Tamat | Abrata Series #02Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang