Beberapa hari terakhir terasa sungguh berat. Bukan hanya masalah perayaan pesta yang diadakan di danau keluarga Saad. Aghnia juga harus mengurus rencana penculikan kembali Nyai Sri Lankat. Rencana itu matang, sematang persiapan yang sudah siap untuk nanti malam. Para pelayan sibuk memindahkan makanan dan minuman dari rumah ke danau. Gerobak-gerobak sapi silih berganti keluar masuk area perkebunan. Aghnia juga menyiapkan lampu-lampu temaram yang menandai jalan untuk acara nanti malam.
"Nyonya, piring nya ingin yang mana?"
Aghnia tidak dapat memilih lagi. Apa saja yang penting ada. Karena dia juga tidak akan melihat piring itu nanti malam. "Sesuaikan dengan gaun Keumala malam nanti."
"Nona Keumala akan memakai gaun bewarna hijau."
"Ya, pilih itu," acuh Aghnia. Dia mulai fokus kembali kepada rencananya. Bagaimana jika orang ini berkhianat kepadanya. Bagaimana jika dia memberitahu rencana Aghnia kepadanya. Aghnia memijat keningnya, sakit kepalanya terus menjadi beberapa hari ini.
"Jika, berhasil. Maka aku akan keluar dari Merpati Putih untuk menjaga citra keluargaku. Aku tidak mungkin menjadi mata-mata dan pemberontak disaat adikku mempunyai pelamar yang pantas untuknya. Itu akan memalukan bagi calon pasangannnya nanti."
Aghnia tersentak ketika Mbok Ratih mengetuk kamarnya dengan kencang. "Nyonya! Nyonya!" Larilah wanita bertubuh gempal itu ke hadapannya.
"Ada apa Mbok?"
"Itu, Yang Mulia Kangjeng Ratu Isyana dan keluarganya akan hadir nanti malam."
Bagai geledek yang menyambar kepalanya. Aghnia menunduk di meja kerjanya. Cobaan apalagi ini. Jika begini akan sulit kabur diam-diam karena Aghnia harus menjamu Sang Ratu.
"Siapa yang mengundang mereka?" tanya Aghnia cemas.
"Beliau meminta hadir karena belum pernha melihat danau keluarga kita sebelumnya, Nyonya."
Aghnia tersenyum miris. "Baiklah, mau bagaimana pun dia adalah ratu kita."
Aghnia meninggalkan meja kerjanya dan mencari pelayan yang menanyakan piring kepadanya. "Tolong gantikan piringnya. Warna putih dengan ornamen bunga ungu. Seragam kan dengan cangkir, teko, dan apapun itu yang dihidangkan. Berikan meja khusus untuk keluarga kerajaan. Dan!" Perkataan Aghnia terhenti karena dia harus menarik napas. "Panggilkan pemusik terkenal yang bisa memainkan banyak musik."
"Baik, Nyonya." Semua pelayan yang ada di sana mengangguk patuh dan segera melakukan pekerjaan mereka.
***
Haniya terlihat sibuk. Pasalnya kedua anaknya yang jauh kini berada di rumah. Abrata Dhara sampai di kediaman Abrata subuh tadi bersama suami dan putra kecilnya. Dia sangat bersemangat melakukan ini dan itu, menyiapkan sarapan pagi mereka semua.
Abrata Bhalendra yang beberapa hari lalu sempat kembali berlayar kini pulang membawa seorang perempuan bersamanya. Perempuan itu adalah seorang anak dari penguasa Portugis. Haniya sangat senang dan tiba di ruang makan paling awal. Mengecek makanan yang akan di makan oleh anak-anaknya.
Haniya juga tersadar bahwa ini bukanlah mimpi di saa dia mendengar suara tangisan dari Agha Abbiyya Kama Regnala Bajradakawirya itu. Anak pertama dan akan menjadi seorang penerus tahta nantinya dari pasangan Abrata Dhara Dan Hartigan Bajradakawirya.
"Cucuku." Pelukan Haniya menghambur kepada cucunya dan segera mencium bayi itu dengan gemas. Sementara Sang Ibu terlihat gemas dengan neneknya Sang Anak.
"Mama, gendong saja. Aku akan membantu suamiku bersiap terlebih dahulu."
"Oh, apakah terlalu dingin semalam? Mama lupa memberikan selimut tebal kepada Hartigan. Karena belum terbiasa ada pria lain di ranjangmu selain Eknath," milik Haniya yang membuat Dhara tertawa malu dan masuk ke kamarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aroma Kencan Abrata - Tamat | Abrata Series #02
Historical FictionAroma Kencan Abrata. All right reserved ©2021, Ani Joy KONTEN DEWASA (18+). KEBIJAKSANAAN PEMBACA DISARANKAN. PEKERJAAN INI TELAH MENGIKUTI WATTPAD PEDOMAN UNTUK RATING DEWASA. Berawal dari tawaran, dua anak adam membuat tawaran perjanjian yang terp...