BAB 11 - Keraguan

256 26 1
                                    

Hari sebelum upacara Hombo Batu, hari dimana saat Caiden mendapati Eknath, adik laki-laki bungsunya yang terlihat murung. Anak laki-laki itu terlihat tidak selera menyantap makan malamnya. Dia hanya memainkan nasi itu dengan sendoknya.

Caiden berdeham, mengusap mulutnya lalu berkata dengan nada tegas, "Jika kamu tidak mau memakannya. Jangan memainkannya, Eknath."

Anak laki-laki itu tersentak, dan menunduk dalam sembari memaksakan mulutnya terbuka untuk memasukkan makanannya.

"Eknath, ada yang menganggu pikiranmu, Sayang?" tanya Haniya lembut dari sebelah Caiden.

Eknath menggeleng, tanpa menjawab dia meletakkan sendoknya di atas meja makan, dan bergegas dari ruang makan intim keluarga Abrata.

Caiden tentu saja tidak menyukai perlakuan itu. "Ada apa dengannya? Dia harus mendapatkan pelajaran setelah ini," ucapnya dengan nada tidak suka.

"Caiden, mungkin ada yang menganggu pikirannya. Kamu seharusnya tidak bersikap seperti itu," kata Haniya menggenggam tangan Caiden yang duduk di sampingnya.

"Arsya?" panggil Caiden meminta penjelasan kakaknya.

Arsya menaikkan kedua alisnya. "Biar aku urus dia." Pria itu lalu beranjak dari kursi, meninggalkan nasinya yang tinggal setengah lagi.

Abrata Arsyanendra, ayah dari tiga orang anak itu mengetuk pintu dengan bulatan yang terukir rumit di tengahnya.

"Eknath?"

Tidak ada jawaban, dan Arsya masuk tanpa disuruh. Pria itu melangkah mendekat dan duduk di ranjang adiknya. Sementara anak laki-laki yang tengah banyak pikiran itu sedang berlatih melompat di sudut ruangan.

"Ada apa kakak?" tanya Eknath dengan napas terengah.

"Sikapmu di meja makan tadi tidak baik, Eknath. Bersikaplah sopan di hadapan orang yang lebih tua, kita semua di sini saling menghormati seperti yang Papa ajarkan kepada kita."

"Memangnya Papa ada di sini?" tanya Eknath sinis. "Aku tidak suka dengan Caiden. Dia berlagak seperti Papa tetapi tidak ada satupun dari tindakannya yang membuat aku merasakan kehadiran Papa. Dan dia tidak seharusnya begitu."

"Eknath," tegas Arsya. "Kamu harus menghormatinya. Caiden adalah kepala keluarga kita. Kamu harus bersikap santun kepadanya. Mau bagaimanapun, dia adalah kakakmu. Orang yang memperjuangkan segala hakmu sebagai anak di rumah ini. Orang yang mengurus kehidupanmu agar kamu tidak melarat."

Eknath terdiam dengan kepalan tangan yang tidak bisa dia lepas. Hidungnya mendengus menahan tangis. Perasaan marah dan sedih bercampur menjadi satu. Eknath kehilangan kepercayaan dirinya, dia kehilangan sebagian hidupnya, dia kehilangan Papanya.

"Kenapa tidak kamu saja yang menggantikan Papa?" cicit Eknath menatap Arsya dengan tajam. "Semua orang juga tahu, seharusnya bukan Caiden yang menggantikan Papa. Dan semua orang tahu kenapa Caiden yang harus menggantikannya."

Arsya menunduk dalam dan ini semua kesalahannya.

Andai dia tinggal di kamarnya

Andai dia tidak kabur dari rumah

Andai dia peduli dengan keluarganya hari itu

Andai saja...

"Maafkan aku, Eknath." Arsya tidak sanggup berhadapan langsung dengan adiknya. Dia memilih pergi dan meninggalkan Eknath dengan dengusan sinisnya.

"Kamu pengecut, Arsya." Eknath meremas surat dari Bhalendra. Surat itu berisi kata penyemangat baginya, tetapi entah menagapa Eknath belum juga menemukan keberaniannya. Surat itupun dia buang sembarang dengan tulisan rapi kakaknya yang sangat merindukannya.

Aroma Kencan Abrata - Tamat | Abrata Series #02Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang