Pernikahan sederhana di Dieng senja itu begitu haru. Janji manis Bendara Pangeran Harya Radjendra bersama dengan istrinya yaitu, Cut Keumala Beutari Saad terucap tepat ketika Sang Surya tenggelam. Seluruh tamu undangan, yang dihadiri oleh keluarga kecil mereka mengusap air mata haru dan saling memberikan ucapan manis.
Cut Keumala menarik bibirnya ketika melihat Sang Kakak tersedu begitu kencang di kursinya sembari memakan pulut yang mendingin. Perempuan itu memeluk kakaknya dari belakang dan berkata, "Cut Kak sangat lucu, berhentilah menangis."
Bukannya berhenti, Aghnia malah semakin menangis dan memeluk Keumala semakin erat. "Keumala, mengapa kamu cepat sekali meninggalkan aku."
Keumala tertawa kecil dan berbisik, "Ini karena desakanmu, Cut Kak. Salahmu menyuruhku untuk cepat menikah."
"Aku menyesal..." rintih Aghnia tidak terbendung. "Aku akan sangat merindukanmu. Bahkan sekarang aku sangat merindukanmu," cicitnya mengeratkan pelukannya.
"Cut Kak, aku akan sering berkunjung. Jangan bersedih, cepatlah menikah agar kamu tidak kesepian."
"Bukan itu jalan keluarnya, Keumala. Menikah itu bukan urusan kesepian." Aghnia mengerutkan alisnya tidak suka.
"Iya, Cut Kak. Berhentilah menangis sekarang, kamu terlihat jelek sekali." Keumala menunjuk bagian mata Aghnia yang sudah menghitam.
Aghnia mengudap hidungnya dan menatap ke arah pria yang sedang menahan tawanya sedari tadi. "Tahan itu, sampai acaranya selesai."
Tawa pria di depannya lepas, Aghnia sangat kesal dan melempar daun pisang bekas pulut tadi ke arah pria itu. "Kamu cengeng sekali, berisik seperti bayi. Usiamu itu sudah tua, tidak pantas kamu menangis seperti itu."
"Kamu jika ingin mengejek satu persatu. Aku tidak tua, kamu hanya terlalu muda untuk menyadarinya," ujar Aghnia sinis. Ia mengusap perlahan air mata yang tersisa.
"Kamu seharusnya bahagia, bukan menangis seperti ini. Lihat riasanmu luntur semua."
"Aku tidak peduli."
Abrata Caiden terkekeh, dan mengambil sapu tangannya, menyodorkan sapu tangan putih berinisial C itu kepada Aghnia. "Usap, kamu akan cantik setelah mengusapnya."
Aghnia menatap sebentar. Lalu ia ambil perlahan sapu tangan itu, dan mengusapkannya ke bagian matanya. Semerbak lavender tercium dari sapu tangan itu, Aghnia sangat menyukainya. Tanpa ia sadari, ia telah mencium aroma itu berkali-kali.
"Lavender, kamu menyukainya?" tanya Aghnia penasaran.
"Ya, keluargaku menyukainya. Mengingatkan kami kepada sosok Papa yang telah tiada. Satu-satunya yang dapat kami kenang darinya adalah aromanya," jawab Caiden menerawang.
"Aroma?"
"Setiap orang memiliki aromanya masing-masing. Keunikan itu yang akan membuat orang lain dapat mengingatnya. Aroma adalah satu-satunya peninggalan yang dapat kita ingat dari orang yang telah tiada." Caiden menjelaskan singkat sembari memutar sendok teh di depannya.
"Bagaimana dengan jawabannya, Aghnia?"
Dahi Aghnia kembali mengerut, "Jawaban apa?" tanyanya heran.
"Jangan pura-pura tidak tahu. Apakah kamu merasakan yang sama?" tanya Caiden tepat pada intinya.
Aghnia berdeham dan memperbaiki posisi duduknya. "Jika tidak apa yang akan kamu lakukan? Dan jika iya apa yang harus kita lakukan?"
Caiden tersenyum miring dan menjawab, "Jika tidak maka aku akan menikahimu, jika iya maka kita akan menikah."
Aghnia tersedak dan menghela, "Tidak ada bedanya."
"Memang, karena bagaimanapun. Aku akan tetap menikahimu." Tubuh Caiden condong ke depan dan berbisik, "Kita telah melakukan hal kotor Aghnia. Aku tidak ingin melakukan itu lagi tanpa ikatan pernikahan. Aku butuh jawabanmu, dan kita akan menikah secepat yang kamu inginkan."
"Aku tidak mau menikah denganmu." Aghnia menjawab dengan cepat.
"Apa?"
"Kurang jelas, Tuan Abrata?"
"Apa yang kamu inginkan, Nona Saad?" Senym Caiden pun tertarik.
"Aku masih tidak percaya kepadamu. Kamu masih seorang pria nakal di pikiranku," tunjuknya ke kepala. "Bukankah kamu tau reputasimu, Tuan Abrata?"
Caiden tersenyum, tertarik akan pembicaraan itu. "Bagaimana reputasiku, Nona Saad?"
Bagaikan ikan yang melahap abis makanannya. Aghnia menjawab dengan nada tidak suka, "Pemain wanita, penjudi, penjahat, pelipur lara?"
Senyuman Caiden semakin terulas. "Pelipur lara, hm?"
"Aku pikir awalnya kamu memang tidak memilih dalam menghabisi musuhmu. Tapi pria itu? Kamu menghabisinya karena aku? Karena berdalih aku adalah kakak dari mantan calon istrimu? Alasanmu standar sekali, Tuan Abrata. Terima kasih," ucap Aghnia melembut. "Atas semua bantuanmu, aku tidak tahu harus bagaimana."
"Jadi, apa yang kamu inginkan, Aghnia?"
Aghnia tersenyum dan menautkan jemarinya. "Kencan, Caiden. Sebelum menikahimu, aku ingin berkencan terlebih dahulu."
Senyum Caiden semakin tertarik. "Sepakat."
"Sepakat."
Jabatan itu menandakan bahwa mereka telah sepakat dengan permintaan Aghnia. Keduanya melangkah ke lantai keramik dengan ukiran bewarna biru. Saling menautkan jemari, dengan tangan Caiden mulai menelusuri pinggang wanita itu dengan lembut.
"Tatap aku, Aghnia. Tataplah seakan kita hanya berdua."
"Berdua?"
"Ya, kamu dan aku."
Mereka mulai saling memberi hormat. Alunan biola terdengar nyaring Aghnia mengikuti gerakan Caiden yang sudah memulai tarian. Gerakan itu sangat lambat dan lembut, putra-putri Kuta Radja yang hadir ikut masuk ke dalam lantai tari dan saling memberikan hormat kepada pasangan mereka.
"Apa tarianku kaku, Aghnia?"" bisik Caiden yang mulai mengikuti sekitarnya.
Aghnia terkekeh dan menjawab, "Sedikit."
"Tarian Mop-Mop sudah lama sekali tidak dilakukan."
"Karena ini kali pertama setelah puluhan tahun yang lalu Aneuk Sultan Nanggroe menikah di luar Kuta Radja, Caiden."
"Benar, benar sekali. Dan setelah ini, kitalah yang akan duduk di sana dan menyaksikan para tamu menari untuk kita," goda Caiden yang membuat Aghnia tersenyum malu.
"Aku pastikan itu terjadi setelah ini, Caiden," jawab Aghnia kepada Caiden yang tesenyum bersamanya.
Para tamu undangan terlihat sangat bahagia, sama bahagianya dengan pasangan yang sedang menyaksikan mereka dengan senyum gembiranya. Tak habis ucapan selamat menempuh kehidupan baru bagi Pangeran Radjendra dan Cut Keumala Saad malam itu. Takdir memang tidak dapat diprediksi, pria yang kamu kenal sehari saja bisa menjadi pendamping hidupmu setiap hari. Tanpa hari tanpa cinta, Batavia penuh oleh pelamar yang siap menyatakan cinta mereka.
Dataran Dieng begitu indah dengan panorama malam bertabur bintang. Tepat sekali, pernikahan sederhana Pangeran dan Cut Keumala malam ini karena tidak ada kehadiran hujan di Januari.
TAMAT
KAMU SEDANG MEMBACA
Aroma Kencan Abrata - Tamat | Abrata Series #02
Historical FictionAroma Kencan Abrata. All right reserved ©2021, Ani Joy KONTEN DEWASA (18+). KEBIJAKSANAAN PEMBACA DISARANKAN. PEKERJAAN INI TELAH MENGIKUTI WATTPAD PEDOMAN UNTUK RATING DEWASA. Berawal dari tawaran, dua anak adam membuat tawaran perjanjian yang terp...