Sepulang itu, malam begitu gelap. Caiden tertatih, memasuki rumahnya. Wajahnya lesu dan serinnya berkurang. Caiden memasuki ruang musiknya. Perlahan ia menggarap sebuah irama. Pedih, untuk siapapun yang mendengarnya. Bahkan pria itu meneteskan air matanya. Caiden merremas dadanya, sakit. Ia tidak pernah merasakan sakit hati setelah kepergian ayahnya. Tetapi kali ini rasanya sakit sekali.
Wanitanya pergi. Benar-benar dimiliki oleh orang lain. Perempuan yang diinginkannya telah menjadi Sita untuk Ramayana. Sementara wanita yang dibutuhkannya terhalang restu Sang Ibunda. Caiden bimbang, berada diambang kesengsaraan karena cinta.
Haniya mengetuk pintu itu, dan perlahan masuk, lalu duduk di sebelah anaknya. "Aku mendengar musikmu, Caiden. Telah lama aku tidak mendengarkannya."
Haniya melirik putranya dan iba tertatap dari mata hitamnya. "Apa yang membuatmu terluka, anakku?"
"Perempuan, Mama." Caiden meneguk salivanya. "Mengapa perempuan begitu tega dan selalu menjadi penyebab lelaki sengsara?"
Haniya menggenggam jemari anaknya dengan lembut. "Tidak ada perempuan yang begitu tega tanpa alasan, Caiden. Tidak ada akibat jika tidak ada sebab. Kamu sengsara karena kamu menginginkannya?"
"Semua yang aku inginkan, meninggalkanku, Mama. Apa yang harus aku lakukan? Aku tidak bisa menikahi Nona Keumala karena dia telah dilamar oleh Pangeran Radjendra di hadapanku. Bagaimana aku bisa memenuhi keinginan Mama?"
Bola mata itu bergetar dan bibirnya kelu dan ketika Haniya mendengar kembali alunan musik yang dimainkan anaknya tadi, ia teringat akan sesuatu. "Aksimu menolong Nona Saad di danau kemarin tidak ada hubungannya dengan ini bukan?"
"Kamu tidak akan membuat aksi jika kamu tidak peduli dengan orang itu. Tetapi kemarin, aku ingin menanyakan ini dari kemarin," tegas Haniya. "Aku melihatmu, begitu khawatir dan seakan kamu akan kehilangannya. Ekspresinya menggambarkan semuanya, sama seperti ketika Papa pergi meninggalkan kita."
"Aku mengerti, kamu tidak ingin kehilangan lagi, bukan begitu?"
Caiden membalikkan tubuhnya, ditatap ibunya dengan hormat dan dia bersimpuh menapakkan tangannya di atas kedua lutut ibunya. "Maafkan aku, Mama. Maafkan aku..."
"Aku mencintainya. Aku mencintai wanita yang hebat, Mama. Dia adalah seorang wanita tangguh, wanita pemberani, wanita yang memperjuangkan dirinya. Aku sadar bahwa aku tidak memerlukan istri yang diidamkan oleh semua orang di Batavia. Aku membutuhkan seorang istri yang dapat menjadi teman hidupku dan hanya aku yang mendambakannya."
"Aku salah, aku salah telah mempermainkan perasaan lain untuk memikat yang lain. Maafkan aku..."
Haniya mengusap kepala anaknya dengan lembut. "Kamu tidak perlu meminta maaf. Kamu telah menemukan cintamu, kembang bunga yang kamu idamkan. Seharusnya Mama yang meminta maaf. Aku telah salah menilai seorang wanita, padahal akupun sama dengannya, seorang janda. Persepsi itu benar-benar membuatku buta, Caiden. Sampai aku melupakan maksud cinta itu sendiri. Tidak menilai seperti apa bentuknya, tanpa paksaan dan tanpa sebab."
"Mana kala aroma cinta yang begitu kuat ini tidak terlihat olehku sejak dulu?" Haniya menangkap wajah anaknya yang terlihat kasihan. "Datangilah dia, lamarlah, dan jadikan dia istrimu."
***
Keesokan harinya, Caiden bersiap untuk mendatangi rumah Saad. Namun, ada yang berbeda dari kediaman itu. Rumah dengan hamparan kebun di dekatnya terlihat kosong. Caiden mengetuk dan seorang pelayan membuka pintu.
"Apakah Tuan Saad ada dirumah?"
Pelayan itu menunduk hormat dan menjawab, "Mohon maaf Tuan. Tuan Saad dan keluarga sedang tidak berada di rumah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Aroma Kencan Abrata - Tamat | Abrata Series #02
Historical FictionAroma Kencan Abrata. All right reserved ©2021, Ani Joy KONTEN DEWASA (18+). KEBIJAKSANAAN PEMBACA DISARANKAN. PEKERJAAN INI TELAH MENGIKUTI WATTPAD PEDOMAN UNTUK RATING DEWASA. Berawal dari tawaran, dua anak adam membuat tawaran perjanjian yang terp...