BAB 36 - Pria Yang Siap Melamar

287 36 1
                                    

Caiden bergerak menyusuri makam ayahnya. Dia meraba nisan batu itu dengan pelan, menyabut rerumputan yang berada di sekitarnya dan mulai berdoa. "Maaf baru mendatangimu, Papa."

Caiden tidak sanggup berpikir saat ini yang dia harap semuanya akan baik-baik saja dan tentunya sesuai dengan keinginannya ternyata berbanding terbalik. Pria itu menyusuri hutan kecil itu dan menemukan bunga kamboja lila yang tumbuh di tengah hamparan ilalang hijau. Bunga-bunga putih kecil di sekelilingnya terlihat memudar karena kamboja itu. Dia hanya sebatang tetapi pesonanya begitu kuat. Caiden mengambilnya dan membawanya pulang.

Haniya yang baru saja selesai menata bunga, terlihat penasaran dengan benda yang berada di balik tangan anaknya. "Caiden, apa itu?" tanyanya penasaran.

Caiden pun menunjukkan apa yang dia temukan. "Kamboja lila, Mama."

"Kamboja lila? Kemari, coba Mama lihat." Haniya dengan cekatan mengambil bunga itu dan menghirupnya. "Harum, dari mana kamu menemukannya?"

"Di hutan, Mama."

Mata Haniya berbinar, "Kamboja ini cukup langka. Karena tumbuh di tempat yang dia inginkan, dan kita tidak tahu itu dimana. Beruntung kamu menemukannya, Caiden."

"Oh, begitu. Mama bisa memilikinya, letakkan satu di kamarku jika boleh." Caiden tersenyum dan meninggalkan ibunya.

Langkah kakinya kini ke halaman depan. Dimana ada sebuah pondok dengan meja dan kursi yang sudah di atur sedemikian rupa. Tempat dimana kenangan buruk keluarga Abrata dimulai. Caiden menghela napas dan menginjakkan kakinya di atas dedaunan kering di sana. Caiden meletakkan setangkai Kamboja di sana dan tersenyum tipis.

"Apa ini keputusan yang Papa ambil jika Papa ada? Aku merasa sangat putus asa dan tidak tahu harus kemana. Arsya meninggalkan tugasnya, Bhalendra pergi mengejar restunya. Aku?"

Caiden duduk dan melihat rumah mereka dari halaman depan. Masih sama seperti dulu. Pekarangan bunga yang membatasi jalan setapak, rumah yang penuh dengan jendela dan bangunan beton itu terlihat kokoh.

Fulmala terlihat tengah berlari bersama Eknath yang mengejarnya dengan wajah kesal sekaligus omelannya yang terdengar cukup keras. Garis senyum Caiden tertarik. "Apa aku bisa menjadi pria hebat seperti Papa?"

"Bisakah aku menjadi seorang ayah, seperti sosok Bhalendra yang hangat?"

"Apa aku memiliki kemampuan untuk berbisnis dengan Eropa?"

"Aku bahkan tidak memiliki tawa riang seperti Fulmala. Dan emosiku masih sekanak Eknath."

"Bisakah aku, menjadi kepala keluarga Abrata?"

Dari depan teras rumah mereka. Haniya berjalan menyibak roknya. Duduk di samping Caiden dan menggenggam jemari ramping itu. Caiden menahan emosinya dan menatap ibunya dengan kecewa lalu berkata dengan pedih, "Bisakah aku menjadi anak yang berbakti kepadamu, Mama?"

Haniya menarik sudut bibirnya. Caidennya yang malang. Haniya tahu segala sesuatu yang menyangkut anaknya adalah salah. Pria itu selalu berusaha semampunya dan selalu membuat Haniya tidak dapat kecewa dengannya.

"Kamu adalah anak berbakti, Caiden. Sejak awal kamu dilahirkan, kamu memang siap untuk segala hal. Dari semua kakakmu, kamu adalah anak tercepat dalam segala sesuatu. Berjalan, berbicara, bahkan mengerti pelajaran sekolah. Kamu tahu segalanya disaat umurmu terlalu muda. Kamu menanggung semua tanggung jawab kakak dan adikmu disaat tidak ada yang mampu. Kamu sangat berbakti, Caiden, sangat..."

"Anakku sayang, tidak ada yang dapat meremehkanmu jika bukan dirimu sendiri. Buang semua pikiran jahat itu, dan mulai berpikir kamu bisa melakukannya, kamu bisa melaluinya. Mama yakin, kamu tidak akan pernah bisa lepas dari peran penting di dalam keluarga ini, Caiden. Karena kamulah pemimpin keluarga Abrata. Kamu adalah nahkoda keluarga ini, dan jangan tinggalkan kami. Jangan pernah berpikir seprti itu lagi. Mama tidak sanggup kehilangan dirimu, Caiden. Tidak untuk kali ini."

Haniya terdiam sebentar sebelum akhirnya mengangkat bicara. "Mama menemukan tiket kapal ke Kuta Radja sore ini di kamarmu."

Caiden terkejut dan mengambilnya. "A-aku sudah membuangnya, Mama."

"Ambillah, kejarlah Nona Pedasmu, anakku."

Caiden menggeleng tidak mengerti. "Mama tidak ingin kehilangan pemimpin keluarga lagi. Mama juga tidak akan melarang kamu. Sikapmu akhir-akhir ini membuatku resah, Caiden. Bagaimana jika anakku tidak memiliki istri? Bagaimana jika dia terus sendiri?"

Haniya menarik napasnya dan melanjutkan, "Aku tidak ingin itu terjadi. Aku ingin, anakku menemukan teman hidupnya. Menemukan cintanya, dan sesederhana Nona Pedas yang selalu ada untuknya. Menjadi yang selalu ada di hati kecil Tuan Pemburu."

"Pergilah, jemput dia."

Di saat itu, air mata Caiden terjatuh. Dia mengusapnya lalu mrmnadang tiket itu dengan genangan air mata. "Mama, terima kasih."

***

Cut Aghnia Saad baru saja selesai menyekari makam kedua orang tuanya. Dia menyampirkan terusan panjang bewarna hitam yang menghalangi jalannya. Aghnia sampai dirumah mereka dan tersentak ketika melihat ayah dan ibu mertuanya yang sedang duduk bersama pamannya, Hamish.

"Aghni, duduk." Hamish berkata dengan dingin dan suasana tegang cukup terasa.

"Kamö trôk keunoe  untuk memperjelas status kamu sebagai istri dari anak kami, Teuku Sulaiman. Kami mendapat kabar bahwa kamu memberikan surat perceraian ke gedung putih, apa benar?"

Aghnia meremas pakaiannya, dengan berani dia menatap kedua mantan mertuanya itu. "Benar."

Kedua rahangnya mengeras dan Aghnia menarik napas panjang. "Saya tidak dapat bersama dengan beliau. Pria kasar dan suka main tangan. Dia adalah pria terburuk yang pernah saya temui."

Rawut wajah keduanya sangat tidak enak. "Pernjanjian yang telah Teuku Adam dan saya terima adalah tidak akan ada kata perceraian."

"Maaf, saya tidak ingin kembali."

"Begini, Cik Tuan. Kondisi dahulu dan sekarang itu berbeda. Apa yang telah Teuku Sulaiman lakukan kepad anak saya, itu tidak bisa diterima. Bahkan melanggar syari'at. Bukankah suami harus memuliakan istrinya? Jika satu istri saja dia tidak bisa kenapa tamak dengan memiliki dua istri setelah Aghnia?"

"Kami mohon maaf sebesar-besarnya. Iktikad baik Cik Tuan dan Cik Puan tidak dapat kami terima." Hamish membawa Aghnia masuk dan meninggalkan kedua orang tua itu di sana dengan rawut masam.

Aghnia segera membenamkan wajahnya di dalam pelukan pamannya. "Ayahwa,  aku tidak ingin kembali ke sini lagi. Aku ingin tinggal Batavia."

"Iya, Aghnia. Aku mengerti." Hamish dengan sayang menenangkan keponakan yang sudah ia anggap seperti anaknya sendiri.

"Aghnia, jika ada yang melamarmu dalam waktu dekat. Aku mohon untuk diterima. Kita harus menghindari desakan Keluarga Sulaiman, mereka akan membuat segala cara agar kamu dapat kembali ke Sulaiman. Jika kamu telah mempunyai suami, mereka akan mundur karena telah meyakini bahwa kamu benar-benar sudah menjadi milik orang lain."

Aghnia mengusap air matanya. "Siapa yang ingin menikahi seorang janda, ayahwa?"

Hamish memeluk Aghnia lagi, lebih erat. "Akan ada, Aghnia. Pria itu akan datang menyelamatkanmu. Akan ada pria yang tidak peduli dengan statusmu. Akan ada pria yang tulus mencintaimu tanpa memandang apapun."

"Akan ada," lirih Aghnia berusaha mempercayai itu.

TBC

Aroma Kencan Abrata - Tamat | Abrata Series #02Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang