No matter what you do, people will talk about you. Jika itu hal baik, bukannya itu bukan masalah? Just keep moving forward, don't listen to people say. Tapi sayangnya Chandra justru tak bisa seperti itu. Apa yang dipikirkan orang selalu ia pikirkan. Simplenya begini, dia memaksa untuk menjaga Rina nyatanya ia benar-benar sungkan pada gadis itu. Saat ia mencoba merapikan hal yang berantakan karena kepergian Jenan, ia justru takut orang lain semakin berpikir harusnya hidup Jenan tak berakhir naas hanya karena laki-laki seperti dirinya. Nyatanya hidup seperti itu berat baginya.
Tapi Jenan mengajarkan banyak hal yang bisa Chandra petik. Sosok laki-laki itu juga menaruh tanggung jawab pada pundaknya yang tak kokoh. Ingin Chandra mengelak tapi sepertinya sia-sia.
"Abang mengajarkanku banyak hal, bagaimana cara menjadi seorang yang baik, kuat, dan beretika. Tapi aku hanyalah anak kedua yang juga butuh one person to help."
Bukankah bagi semua orang hidup itu terlihat keras? Tapi dibalik itu, kerasnya hidup membawa banyak pelajaran. Dan kerasnya hidup jangan sampai membuatmu merasa tak layak untuk berada disini, diantara banyaknya orang baik. Paling tidak bantu dirimu bersinar pada kehidupanmu, meskipun tak bisa bersinar terang pada kehidupan orang lain.
Tapi Chandra jelas merasa berbeda. Jangankan pada kehidupan orang lain, pada kehidupannya saja ia tak mampu bersinar. Bukan gelap, tapi ia merasa hidupnya seperti ya sudah seperti itu and nothing interesting ever happens to him.
Ada kalimat selain kalimat yang Jenan pernah berikan padanya, yang mampu membuatnya tetap bertahan pada posisi seperti ini.
"Jadilah kuat dan sabar. Buatlah mereka bertanya mengapa kamu bisa setangguh itu bahkan masih bisa tersenyum diatas luka."
Chandra suka kalimat itu dan itu menjadi alasannya juga untuk tetap bertahan.
Tapi...
Kamu kenapa gak berontak aja?
Marah saja kalau kamu mau marah, ya?
Katakan apapun yang ada dibenakmu agar semua orang tahu apa yang kamu pikirkan.Kalimat itu sering Chandra dengar bahkan hampir setiap hari dari keluarganya sendiri. Bahkan dua sahabatnya juga menawarkan telinga mereka dan bahu mereka untuk mendengar dan menjadi sandaran tapi Chandra adalah Chandra. Semasa ia masih bisa tahan lebih baik ditahan saja, kan?
Seperti saat ini, ia menahan diri untuk tak menyentuh benda pipih miliknya. Tangannya sudah gatal ingin mendial seseorang, tapi ia takut. Takut akan berakhir dirinya diabaikan kembali. Laki-laki tampan itu melirik ke bed khusus penunggu pasien, disana ada Dirga yang tengah tidur. Lain dengan Sineera yang tidur disofa panjang padahal sudah dipaksa untuk tidur di bed tapi tidak mau. Jemiel? Laki-laki itu dipaksa pulang dari pukul enam sore tadi mengingat ia diberi tahu untuk ke kampus besok pagi guna bertemu Dosen.
"Disini jam 10 berarti di Bali jam 11 kan, ya?" Gumam Chandra.
Tangannya meraih ponsel yang ia letakkan dibawah bantal. Hendak menelfon Jeffan tapi ia urungkan. Ia pikir Papanya pasti sudah istirahat, dan juga ia malu untuk sekedar bicara karena dirinya yang berkata belum mau bertemu dengan Jeffan.
"Kak Rina lagi apa, ya?"
Chandra sangat sadar tak mengabari Rina tentang apapun. Bukan menghindar tapi nyatanya ia bingung belum lagi tubuhnya yang tadi benar-benar lemas membuatnya tak berniat untuk melakukan apapun selain berbaring dan tidur. Chandra meletakkan lagi ponselnya, ia benar-benar tak bisa tenang saat ini entah apa yang membuatnya begini ia tak paham.
Lagi ia melirik ke arah Sineera dan Dirga. Dirinya benar-benar seperti menyusahkan banyak orang. Dirga? Bahkan dia bukan Ayahnya tapi rela menunggu disini meninggalkan istri dan bayinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
CHAPFALLEN (CHANDRA)
FanfictionBAGIAN KEDUA FEELING BLUE (CHANDRA) Perihal waktu, mau berjalan secepat atau selambat apapun rasa kehilangan itu masih ada, dan tetap akan ada. "Jangan minta aku mencari rumah. Sejatinya rumah yang aku miliki hanya diriku sendiri. Saat raga ini ingi...