34. Khawatir Berimbas Takut

1.1K 164 49
                                    

Satu kata yang menggambarkan kejadian yang baru saja menimpa Sineera adalah ketakutan. Ya, wanita yang kini tengah hamil muda itu benar-benar dirundung pilu secara beruntun. Belum bisa bernafas dengan baik melihat kondisi putra kesayangannya, kini ia harus mendapati suaminya terbaring di IGD dan itu pun belum sempat ia lihat. Karena wanita itu tahu kabar itu dari Ibu Jeffan yang tiba-tiba datang.

"Ma, Sineera mau ke IGD dulu ya? Sineera gak bisa diam disini, J-jeffan..." Wanita itu tak bisa menutupi ketakutannya, ditambah tangannya yang sedikit gemetar membuat Ibu mertua dari Sineera meringis.

"Nak? Dengarkan Mama, ya? Disana sudah ada Dirga dan Jemiel. Papa juga sebentar lagi juga akan menyusul kesana."

"T-tapi Sineera harus tahu kondisi Jeffan, Ma..."

"Lalu putramu?" Tanya Ibu Jeffan sembari mengusap punggung dan jemari menantunya.

"Sin, kamu sedang hamil kalau kamu kelelahan maka itu akan berakibat fatal pada kondisi kandunganmu. Dan juga, Chandra tengah kritis. Kalau tiba-tiba dia sadar dan tidak melihatmu itu sama saja mengecewakan dia, Nak. Karena selain Jeffan, kamu adalah orang yang sangat ia butuhkan."

Mendengar itu Sineera menangis. Ia benar-benar tak tahu harus bagaimana sekarang. Ia ingin melihat Jeffan tapi ia juga tak bisa meninggalkan putra kesayangannya sementara Aura belum tiba.

"Okay, nanti kalau Aura sudah tiba kamu bisa susul ke IGD. Tapi untuk sekarang diam disini dulu, ya?"

Wanita itu tak merespon, dan justru kembali masuk ke dalam ruang ICU tempat dimana putranya berbaring lemas. Kini netranya fokus pada Chandra, melihat dengan iba bagaimana Chandra berbaring seperti tak ada tenaga dengan wajah yang benar-benar pucat.

Sineera mengelus jemari Chandra pelan. Tak terasa itu membuat bulir kristal kembali menetes membuat pipi putih Sineera basah.
"Chandra?"

"Kamu gak mau bangun? Hmm?"

"Kamu disini sudah berjam-jam, Nak. Ayo, bangun biar kita bisa lihat Papa."

Mengucapkan kata Papa membuat Sineera menangis keras. Dadanya benar-benar terasa sakit, ingin menangis keras pun tak bisa. Sampai dimana bahunya terasa disentuh, dan ia tak peduli itu siapa.

"Chandra bangun, ya? Hiksss... Chandra bilang mau jagain Mama, kan? Kenapa Chandra malah disini?"

"Hiksss... bangun ya, Nak. Mama takut..." Sineera meremat ujung dress yang ia kenakan. Jujur saja, yang ia rasakan sekarang lebih dari sakit dada atau perih karena luka. Bahkan jika memukul diripun tak akan sebanding dengan rasa yang ia rasakan sekarang.

"Sin? Udah, ya?" Kata Aura.

"R-ra... tolong aku... hiksss... Chandra belum sadar. J-jeffan..."

Aura mengusap punggung Sineera pelan kemudian memeluk sosok teman yang ia sudah anggap sebagai saudaranya ini dengan pelan.
"Jangan khawatir. Chandra anak yang kuat, putra kita adalah laki-laki yang gak akan kalah karena sakit, Sin."

"Dan kamu gak perlu takut, Jeffan adalah pria tangguh, kan? Kamu sendiri yang pernah bilang kalau dia sama hebatnya seperti Chandra."

Sineera tak menggubris. Wanita itu justru menangis tanpa suara dalam pelukan Aura.

"Ada Dirga disana, kamu harus tahu satu hal. Dirga gak pernah seserius itu marah atau kesal pada suamimu. Karena Jeffan sudah seperti Adeknya. Dia akan menyelamatkan Jeffan, dia akan bantu Jeffan jadi jangan khawatir, okay?"

Aura melepas pelukannya kemudian menggenggam kuat jemari wanita dihadapannya.
"Kamu bisa ke IGD, Papa mertuamu sudah menunggu diluar."

Sineera justru menoleh kebelakang, menatap wajah putranya dengan tatapan sulit diartikan.

CHAPFALLEN (CHANDRA)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang