13. Terbuka Saja, Daripada Pura-pura

1.1K 173 62
                                    

Ada penggalan yang pernah Jeffan baca dari social medianya.

Anak bukanlah milikmu.

Tapi jika dipikirkan lagi memang benar. Anak adalah titipan Tuhan. Sebagai orang tua sudah selayaknya memberi kasih sayang dan juga menjaga apa yang Tuhan titipkan. Termasuk memberi perhatian yang mereka butuhkan.

Anak adalah hal yang diinginkan setiap pasangan suami istri. Tapi kenapa ada saja yang masih tak paham akan peran apa yang dibutuhkan anak.

Jika dilihat-lihat, bukanlah anak tidak pernah menyimpan amarah, apalagi dendam? Sebagai contoh, ketika anak tak sengaja memukul teman. Mereka hanya akan bersedih sesaat saat merasa dimarahi tapi tidak butuh waktu lama untuk kembali ke pelukan orang tua mereka kembali. Itu semua karena anak-anak tidak menaruh dendam. Semua anak mencintai orang-orang terdekatnya, terutama orang tuanya, tak peduli seberapa besar amarah orang tua mereka. 

Bukankah itu perumpaan yang cocok untuk Chandra? Jeffan merenung seperti itu saat ini dimana ia sudah tiba dirumah namun masih diam di dalam mobil miliknya. Ingatannya akan kejadian tadi terekam jelas, bagaimana Chandra menangis memohon padanya sembari mengecup tangannya. Namun ia harus menelan pil pahit kala Dirga menarik Chandra untuk menjauh darinya.

Bukankah lebih baik Jeffan bersikap apa adanya? Ketimbang bersembunyi dibalik topeng yang hanya menampilkan kepalsuan yang semu. Ketimbang diam-diam mengikuti Chandra dan memperhatikan tanpa bisa memberi perhatian langsung.

"ARRRGGGGHH..." Amarah, sedih, dan juga kesalnya berkumpul dan berkecamuk. Dan tepat setelahnya Jemiel datang mengetuk kaca mobil Jeffan tak sabar. Mau tak mau Jeffan turun dan beradu tatap kembali dengan putra ketiganya.

Jemiel melempar kulit obat tepat mengenai dada bidang Jeffan.
"Papa ngapain beli obat itu?"

Jeffan bukkannya menjawab justru mengambil kulit obat yang ia hancurkan isinya tadi pagi.

"JAWAB?!"

"J-jem jangan terik nanti Mama dengar..."

"Biar Mama dengar?! Sejarang jawab Papa beli itu untuk siapa? Untuk Mama?"

Yang ditanya justru mengangguk kecil tanpa beban. Ia lupa bahwa Jemiel pasti tahu ini kulit obat apa.

"Untuk apa? Papa mau Mama hamil?"

"Pa? Bukannya Jemiel gak mau atau mengatur tapi saat ini bukan saatnya berpikir untuk punya anak lagi."

"Ada Chandra yang harus kita pikirkan. Papa tahu kan dia komplikasi? CHANDRA SAKIT, PA?!"

"Iya Papa tahu... tapi gak ada cara lain."

"Papa bener-bener mau dikatakan bodoh, ya?!"

Jemiel benar-benar tak bisa berpikir jernih. Mengusap wajahnya kasar, laki-laki itu lantas menendang ban mobil untuk melampiaskan kekesalannya. Katakanlah ia durhaka berbicara seperti itu, tapi nyatanya amarahnya tak dapat dibendung lagi membuatnya tak bisa berpikir jernih dan mengucap asal.

"Jem..."

"Pa? Apa yang Papa pikirkan? Kita ini tengah..."

"Kalau gak gitu Mamamu akan pergi." Celetuk Jeffan.

"Mamamu akan diambil oleh Om Teddy. Kamu mau Mamamu gak disini? Kamu juga akan pisah sama Chandra."

Jeffan menggeleng setelahnya.
"Papa gak mau, Jem. Papa sudah kehilangan Bunda dan Abangmu. Papa gak mau kehilangan Mama dan Chandra..."

"KALAU PAPA GAK MAU KEHILANGAN MEREKA HARUSNYA PAPA MEMPERHATIKAN MEREKA?!" Bentak Jemiel.

"Harusnya Papa memperhatikan Mama. Harusnya Papa ajak Chandra berobat, maka Om Teddy gak akan memisahkan kalian. Bukan justru buat Mama hamil dalam kondisi Mama harus mengurus Chandra. Papa benar-benar gak bisa berpikir panjang, ya? Ya Tuhan..."

CHAPFALLEN (CHANDRA)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang