21. Masih Ada Harapan?

1.2K 179 44
                                    

Berbicara perihal bahagia, sebenarnya bahagia bukanlah sebatas pencapaian. Atau saat keinginanmu dikabulkan. Bertahan adalah suatu hal yang lebih dari bahagia yang sepatutnya di apresiasi oleh siapapun. Entah bagaimana cara seseorang bertahan itu adalah sesuatu yang harus dihormati dan dihargai.

Lalu janji itu apa termasuk effort untuk bertahan? Bukankah janji itu bisa saja diingkari? Kita tak tahu apa yang akan terjadi setelah kita membuat janji. Lebih baik berusaha saja, kan? Berusaha untuk bertahan dengan hal yang pasti.

Sama halnya seperti Chandra. Bertahan versi dia adalah tetap seperti ini seorang diri tanpa melibatkan banyak pihak. Menyembuhkan luka sendiri meskipun ia masih harus berjalan diatas luka lamanya. Menyalahkan pihak lain pun bukannya mendapat solusi justru semakin berat. Tapi ada satu hal yang membuatnya sering berpikir tentang pihak lain yang ikut dalam upayanya menyembuhkan luka.

"Memangnya aku ini siapa? Memang aku seperti apa sampai orang-orang rela bertaruh apapun hanya untuk menawarkan bahagia?"

Padahal bahagia versi Chandra se simple itu. Cukup akur dengan keluarganya saja, karena meminta Jenan kembali pun tak bisa jadi yang ia pikirkan adalah cukup melihat keadaan rumahnya damai dan tentram.

Tapi kenapa begitu sulit?

Now we have to learn how to survive on your own, right? Chandra sudah mengusahakannya sendiri, karena dia tahu bahwa semuanya berasal dari diri. He want to stop expect, entah itu pada keluarganya sendiri ataupun pada teman-temannya. Bukan karena egois atau sombong, but he know happiness isn't something ready made. It comes from own action, from himself.

Sesederhana bahagia yang ingin ia sempurnakan tapi nyatanya memang kerikil harus ia tempuh lebih dulu. Perhatian orang tua? Mungkin sebagian orang sudah dapat dan menerima dengan sempurna. Keharmonisan pada keluarga? Mungkin banyak orang sudah memilikinya juga. Lalu jika Chandra ingin meminta kedua itu apa salah? Simple but it's so hard to him.

Ibarat berakit-rakit ke hulu berenang-renang ke tepian. Bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian. Chandra masih menerima sakitnya dulu, dan berharap dengan cepat bisa merasakan senang dengan siapa lagi jika bukan keluarganya.

Kembali pada orang-orang yang sempat beradu argumen, saat ini mereka masih duduk diam tanpa bicara sepatah katapun. Jadi urutan duduknya begini, diawali Teddyan disisi kiri, di ikuti Fiara, Rendra, Sineera, dan sisi paling kanan Jeffan. Mahendra? Ia memilih berdiri, sosok sahabat dekat Chandra itu memilih melirik Chandra di dalam sana lewat kaca yang tak sepenuhnya jelas menampakkan orang didalam. Mahendra masih bisa merasakan bagaimana tangan Chandra meremat lengannya kuat saat pemuda itu berusaha menggendong tubuh Chandra untuk kembali ke dalam kamar dari acara bersimpuhnya pada Teddyan saat tadi.

Awalnya tak ada pergerakan dari mereka namun tiba-tiba Teddyan berdiri dan berlalu begitu saja tanpa mengucapkan sepatah katapun. Melewati saudari dan juga Iparnya tanpa melirik.

"Mas?!" Pekik Fiara.

"Fi? Bisa susul Mas Teddy? Ajak pulang aja, sepertinya dia butuh waktu untuk tenangin pikirannya."

Fiara terlihat menimang-nimang ucapan Sineera sampai akhirnya ia mengangguk.
"Aku tinggal, ya? Nanti aku telfon kamu." Katanya lalu pergi mengejar calon suaminya.

Sepeninggal Fiara dan Teddyan, Rendra segera menggeser duduknya menjadi duduk pada kursi yang awalnya diduduki Teddyan. Pemuda itu seolah memberi jarak, ia jelas paham orang tua sahabatnya perlu waktu bicara.

"Mama Sin? Aku sama Rendra boleh di dalam, gak? Siapa tahu Chandra sudah bangun."

Sineera tanpa pikir panjang hanya mengangguk dan senyum tulus yang tersemat jelas diwajahnya membuat Mahendra sedikit tidak tega. Detik selanjutnya wanita tiga anak itu melirik ke sisi kanannya. Sosok suami yang sudah hidup dengannya ini terlihat merenung. Menatap sepasang sendal yang Sineera tahu itu sendal ternyaman yang suaminya punya.

CHAPFALLEN (CHANDRA)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang