29. Jujur Menyakitkan, Bohong Lebih Menyakitkan

1.1K 173 30
                                    

Memang ada kalanya kita tak seharusnya meletakkan hal berat hingga membebani orang lain dengan membiarkan mereka menjadi sulit. Ibaratnya untuk mengurusi diri saja sudah sulit, bagaimana bisa menjaga orang lain. Tapi itu tak sepenuhnya bisa dibenarkan, nyatanya setiap orang memang pasti akan bergantung satu sama lain karena kita memang tercipta sebagai makhluk sosial.

Begitupun Chandra, mau dia berkata tak mau membebani atau tak mau membuat siapapun sulit karena dirinya, pasti ujungnya ia akan merasa orang lain ikut merasa sibuk entah karena mengurusnya atau memikirkannya.

Seperti saat ini, ia sudah duduk dipesawat, dan disebelahnya ada Sineera yang masih membantunya untuk minum. Bukan karena tak mampu memegang gelas atau malas, tapi Sineera yang memaksa. Chandra melirik sedikit ke arah sampingnya, dan disana ada Jemiel yang duduk dengan wajah ditekuk. Belum lagi tangan yang berada di dada. Jelas sekali mengisyaratkan bahwa laki-laki itu tengah kesal.

"Mau makan puding?" Tanya Sineera dan dibalas anggukan oleh Chandra.

"Sebentar, ya?"

Chandra terus tersenyum kala melihat bagaimana Sineera lihai memperhatikannya. Benar-benar seperti tak mau kehilangan kesempatan untuk merawatnya, tapi jika begini bukannya dirinya terlihat seperti tak mampu menggunakan tangan? Padahal tangannya berfungsi dengan baik.

"Ma? Mama gak repot nyuapin Chandra?"

"Enggak kok. Ini memang maunya Mama." Jawab Sineera sembari menyuapkan sesendok puding untuk putranya.

"Jangan merasa sungkan, Mama itu wanita yang melahirkan kamu. Udah sewajarnya Mama seperti ini."

"Tapi Chandra baik-baik aja."

Sineera menggeleng setelahnya.
"Mama masih ingat bagaimana wajahmu memucat kemarin. Kalau saja Papa gak curiga, mungkin Papa dan Mama gak sadar kalau kamu lagi kambuh."

Benar, kan? Jika seperti ini, Chandra benar-benar merasa dirinya seperti beban.

"Oh, ya. Tadi Mama sempat dapat pesan dari Ibunya Rina. Katanya Rina sempat masuk Rumah Sakit sebentar. Kamu sudah tahu?"

Chandra mengangguk setelah selesai meneguk airnya.
"Udah, katanya asam lambungnya naik."

"Dia yang beri tahu langsung atau kamu dikirimi pesan oleh orang tuanya?"

"Kak Rina yang bilang."

Untuk beberapa detik Sineera diam sebelum akhirnya kembali menyuapi Chandra. Sekelibat bayangan akan Jenan terlintas, sungguh sebagai seorang Ibu ia tak mau begitu keras untuk urusan percintaan putra-putranya. Hanya saja wanita tiga anak itu sedikit selektif agar tak ada pertikaian yang terjadi. Karena ia tak mau kasus seperti Arlan itu kembali muncul.

"Kamu... suka sama Rina, ya?"

Chandra menggeleng tapi mengangguk juga membuat Sineera bingung

"Iya atau tidak?"

"Tengah-tengah." Jawab Chandra sembari melihat keluar jendela pesawat.

"Apa Abang akan ikhlas kalau lihat Chandra suka Kak Rina, Ma?"

"Mama pasti tahu bagaimana Abang, selama kita hidup dengannya Abang hanya sekali membawa perempuan pulang dan berkata bahwa Kak Rina adalah perempuan satu-satunya dan yang akan ia nikahi nanti."

"Tapi Abang sudah tidak ada..."

"Abang memang gak ada, raganya memang gak terlihat lagi. Tapi cinta Abang masih hidup dengan baik di hati Kak Rina, Ma." Potong Chandra cepat.

"Mama pasti paham kan kalau cinta pertama itu punya arti dan punya space di dalam diri kita, yang mau Mama coba geser dengan cinta milik orang lain pasti sulit."

CHAPFALLEN (CHANDRA)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang