3. Kesedihan Dan Kebahagiaan Adalah Satu Paket

1.2K 174 52
                                    

Tak ada yang special saat ini. Begitu mengantar Rina, dan keluarganya untuk pulang, Chandra segera bergegas menuju rumah Omanya. Ia sudah sangat khawatir akan pesan yang diberikan Jeffan tadi pagi. Jadi ia memilih untuk tak singgah kemana pun.

Mengingat kembali kejadian tadi, Chandra seolah merasa malu. Ia bisa melihat dengan jelas bagaimana sorot mata Rina. Bahkan saat ia mencoba untuk meminta sedikit waktu untuk mengobrol beberapa menit sebelum ia pergi, Rina justru menolak dengan dalih lelah.

Kecewa? Rasanya yang dirasakan kekasih Abangnya itu lebih dari kata itu. Bisa dilihat kan bagaimana pengaruh kepergian Jenan bagi banyak orang?

Jika bertanya, sebenarnya apa yang membuat Chandra seolah tak membiarkan dirinya bahagia? Seperti membenci dirinya, dan menjadikan hidupnya tanpa warna sedikitpun. Begitu juga dengan menganggap dirinya adalah beban untuk kedua orang tua. Bukankah seorang anak yang belum menikah itu masih lah menjadi tanggung jawab orang tua?

Dan dilihat dengan seksama, jawabannya adalah Chandra yang terlalu keras akan dirinya sendiri. Begini, tak semua orang akan memiliki kesempatan atau bahkan standar yang sama. Bukan mengatakan standar yang dimiliki Chandra tinggi, tapi Chandra selalu ingin orang disekitarnya lebih dulu merasa bahagia. Bukankah itu termasuk standar yang tinggi? Jika kita realistis maka kita akan meletakkan diri kita sama seperti orang lain atau bahkan meletakkan diri kita diatas mereka. Dengan kata lain membahagiakan diri beriringan dengan membahagiakan sekitar.

Bagi Chandra dengan standar yang ia telah tetapkan pada dirinya membuat mindsetnya seolah berkata bahwa itu adalah sebuah kesempurnaan yang sangat indah. Menjunjung kesempurnaan dari standarnya menyebabkan ia tak memberi ruang bagi dirinya sendiri, dan juga tak memberi waktu pada diri sendiri. Sehingga menyebabkan munculnya rasa beban saat ia merasa standar yang ia ingin tak bisa ia raih.

"Ini titipan dari Aura." Dirga meletakkan satu tas kain dimeja milik Chandra. Pria yang sebentar lagi akan menjadi seorang Ayah itu kemudian duduk disofa yang berada tak jauh dari tempat Chandra duduk.

"Sudah ketemu Arlan?" Tanyanya lagi.

Chandra mengangguk.
"Om ngapain kesini?"

"Kamu gak suka?"

"Bukan gak suka. Tapi Tante Aura sendirian dirumah. Gak bertanggung jawab sekali anda jadi suami."

Dirga menaikkan satu alisnya tanda bahwa dirinya sedikit jengkel.
"Seenggaknya Om gak macem-macem. Daripada Papamu ninggalin Mamamu waktu hamil kamu, malah selingkuh sama wanita lain."

Dirga sadar akan ucapannya. Ia hanya ingin mengatakan apa yang ia pikirkan.

"Ya gak usah bawa-bawa Papa." Jawab Chandra cepat.

Dirga hanya mengedikkan bahu. Ia masih terus menatap Chandra yang kini masih berkutat dengan beberapa buku. Padahal yang ia tahu dari Jemiel adalah semester baru akan mulai bulan depan tapi Chandra seolah sudah sibuk dari sekarang.

"Jadi adek bayinya cewek, ya?"

"Cowok." Jawab Dirga cepat.

Chandra mengangguk sembari menyandarkan punggungnya pada kursi. Manik hazelnya menatap lampu yang menerangi seluruh kamar. Sekilas ia melirik jam dinding, sudah hampir pukul enam, dan Jeffan belum datang.

"Bisa-bisanya diusia Chandra yang udah sebesar ini punya adek bayi." Kekehnya di akhir kalimat.

"Kan bukan adekmu."

Laki-laki berparas tampan yang tengah menatap lampu itu sudah jengah. Sedari tadi ia seperti dipancing untuk marah.
"Iya juga sih. Nanti pura-pura gak kenal aja kalau dia udah lahir."

CHAPFALLEN (CHANDRA)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang