10. Luka Lama Itu Sumbernya Luka Baru

1.1K 167 66
                                    

"Meninggalkan luka pada seseorang dengan ucapan, dengan sebuah tulisan atau ketikan adalah hal menyakitkan yang tidak akan dengan mudah bisa dilupakan."

.
.
.

Hari berlalu dengan cepat. Semalam saat dimana Jeffan menyelesaikan makan malam dengan buru-buru, ia langsung masuk ke kamar dan mengurung diri membuat Sineera tak bisa masuk untuk sekedar bertanya ada apa dengan suaminya. Tak hanya Sineera yang kelimpungan, Chandra pun sama. Jemiel? Laki-laki itu terlampau kesal dan justru melanjutkan makan malamnya tanpa beban membiarkan Sineera dan Chandra sibuk membujuk Jeffan untuk membuka pintu.

Dan pagi ini, keadaan rumah justru sepi. Sosok laki-laki dengan balutan pakaian santai tengah menguasai kembali meja makan seorang diri.

"Kemana, Jem?"

Jemiel menoleh, dan mendapati Chandra sudah berdiri disebelahnya dengan yogurt berisi buah berry.

"Mau bayar semester dulu."

"Bukannya bisa transfer?"

Jemiel mengangguk.
"Sekalian ada perlu sebentar."

Chandra bingung, dikatakan Jemiel marah nyatanya anak itu tetap menjawab ucapannya. Tapi ia sadar perubahan gerak gerik Jemiel yang terjadi setelah dirinya meminta Jemiel untuk tak melakukan hal lebih pada Jeffan.

"Mama udah bangun?" Kini Jemiel yang bertanya.

Chandra yang awalnya melamun kini balik menatap Jemiel.
"Udah, tadi gua lihat lagi dikamar sama Papa."

"Berantem?"

Chandra mengedikkan bahunya.
"Biasanya kalau mereka berantem, paling Mama kan yang paling kedengaran suaranya. Papa pasti diam."

"Diam karena dia tahu dia salah." Jawab Jemiel cepat.

"Dia tahu dirinya salah, tapi egonya besar. Dia tahu dirinya sumber dari semua yang terjadi tapi dia memilih bungkam. Itu alasan kenapa dia diam. Bener kata Om Teddyan, hubungan Papa dan Mama itu termasuk toxic relationship."

"Jem, jangan mulai."

Dijawab seperti itu oleh Chandra membuat Jemiel segera menghabiskan kopinya dengan cepat.
"Sayangnya gua gak bisa kayak lo, Chan. Gua gak bisa nahan amarah gua. Mau lo suruh gua sabar pun rasanya sulit, emosi gua udah di ujung kepala."

"Posisikan lo sebagai Papa kalau begitu." Jawab Chandra.

"Pikirkan jika Papa itu lo, apa lo bisa terima lo dipukul anak sendiri atau dihujat sama anak lo sendiri?"

"Seperti kata gua, biarpun Papa tahu salahnya biar dia sadar sendiri. Lo gak perlu paksa karena sama aja bohong kalau lo paksa tapi Papa gak berniat untuk sadar. Bukannya itu malah keliahatan lo buang tenaga?"

Chandra menepuk punggung saudaranya pelan.
"Terimakasih lo udah menunjukkan sisi ini. Gua ngerasa ada sosok seperti Abang yang ada disamping gua."

"Lo cukup jalan disamping gua biar gak kemana-mana, ya?"

"Maksudnya?" Tanya Jemiel lagi.

"Gua gak mau biarin lo jalan didepan gua seperti Abang dulu. Karena gua akan sulit pegang lo kalau ada apa-apa. Tapi saat lo jalan disamping gua, gua bakal pegang lo biar gak jatuh atau terkena bahaya."

Senyum manis Chandra merekah kala menyelesaikan kalimatnya.
"Udah selesai? Sana ke bank nanti keburu ramai."

Berlalunya Jemiel membuat Chandra terkekeh, mengingat saudaranya itu berlari dengan tangan memegang sandwich buatannya.

CHAPFALLEN (CHANDRA)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang