10. Tidak Percaya Diri

129 13 4
                                    

"Sekarang belum berani, mungkin besok, lusa, atau beberapa hari kedepan. Waktu terus berjalan, percayalah diri sendiri, jangan membuang kesempatan, jangan sampai menyesal dikemudian hari."
.
.
.

Hari berganti. Semua terasa cepat berlalu. Afgan disini sekarang. Di tempat dirinya menghabiskan waktu bersama teman teman nya. Tempat favorit mereka.

"Gan." Panggil Bryan. Afgan menengok. Ia mengangkat alisnya tanda bertanya.

Bryan berjalan mendekati Afgan. Dengan dua tangan yang dimasukkan ke dalam saku celana. "Sampai mana hubungan lu sama ocha?" Tanya Bryan.

Pertanyaan Bryan membuat Afgan diam. Afgan menatap Bryan dengan tatapan kosong. Dia tidak tahu harus menjawab apa.

"Lu ga berniat mainin dia kan?" Tanya Bryan. Afgan menghela nafasnya. Mengalihkan pandangannya dari Bryan.

"Dia perempuan baik gan, dia satu satunya perempuan yang bisa buat lu berubah menjadi lebih baik." Belum selesai Bryan berkata, Afgan memotong nya.

"Gw tau. Dia sempurna, banyak laki-laki yang ingin memiliki nya. Mungkin termasuk gw. Tapi, gw belum bisa untuk menjadi yang terbaik buat dia. Gw ga pernah berniat mainin dia. Hubungan pertemanan ini udah cukup buat gw yang ga pernah percaya bahwa gw bisa buat jadi yang terbaik untuk dia." Jelas Afgan.

Afgan menengok, saat pundak sebelah kanan nya ditepuk oleh Kelvin. "Lu udah cukup sempurna buat menjaga dia gan." Ujar Kelvin. Afgan menghela nafasnya.

"Dia itu bagai seorang putri vin, banyak yang menyayanginya, banyak yang berusaha menjaganya, termasuk gw, tapi gw bukan pangeran yang bisa menjaga seorang putri dengan semua kekuatan yang ia punya. Gw cuman seorang pecundang yang kerjaan nya balapan, berantem, bahkan semakin kesini nilai gw juga turun. Banyak laki-laki di luar sana yang lebih pantas untuk ocha. Dan gw ga mau jadi perusak kebahagiaan ocha nantinya." Ujar Afgan.

Kelvin dan Bryan saling tatap dan menghela nafasnya. Afgan memang tidak bisa di berikan sedikit masukan. Dia punya jawaban untuk mendukung keputusan nya sendiri.

Hanya satu orang yang bisa membuat Afgan merubah keputusannya, itu adalah Rossa. Selain Rossa keputusan yang sudah Afgan buat tidak ada yang bisa untuk membuat Afgan merubahnya.

"Gw berharap lu bisa mikirin lagi gan. Ga ada salahnya kan seorang pecundang berusaha menjaga seorang tuan putri." Ujar Kelvin. Afgan menengok. Tersenyum kecut. Kelvin melangkah pergi menghampiri teman teman nya yang lain.

"Ga ada yang mustahil. Usaha aja dulu." Ujar Bryan, lalu ikut pergi.

Semua teman Afgan pergi dari tempat itu, Afgan kini hanya sendiri. Ia melihat ke bawah. "Jangan balapan. Jangan cari masalah." Ujar Afgan dari atas. Teman temannya serentak mengangkat jempol nya. Menandakan oke.

Afgan menatap kepergian teman temannya itu. Handphone nya berdering.

"Rossa"

Nama itu yang tertera di layar handphone milik Afgan. Afgan menghela nafasnya.

"Gan" ujar suara manis di seberang sana. Membuat Afgan menghela nafasnya.

"Iya?" Tanya Afgan.

"Bisa anterin aku ke Gramedia ga? Aku mau beli buku." Ujar Rossa.

"Kalau ga bisa gapapa nanti aku naik taxi aja." Lanjut Rossa.

"Ga bisa ya? Yaudah deh kalau ga bisa." Rossa terus berbicara.

"Aku ganggu kan, aku matiin telfon nya deh." Rossa berbicara tanpa memberikan Afgan kesempatan berbicara.

AGASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang