05. Mulai Dekat

117 12 19
                                    

"Ada yang berubah namun bukan rasa, walaupun sedikit. Tapi sedikit demi sedikit, bisa membuat perubahan yang besar."
.
.
.

"Yeeaayy." Sorak seluruh siswa Altair High School. Mereka memberika tepukan tangan kepada teman nya yang telah memenangkan pertandingan di babak pertama.

Afgan pun ikut berdiri dan memberikan tepukan tangan walau pelan, tidak seheboh teman teman nya di tribun penonton. Tidak ada perubahan raut wajah di wajah milih Afgan. Tetap datar.

Teman teman Afgan yang berhasil memenangkan pertandingan juga seperti Afgan tidak terlalu senang. Hanya senyum kecil yang mereka perlihatkan. Dan tepukan tangan kecil mereka lakukan.

Saat teman teman sekolahnya turun dan menghampiri Afgan dan teman teman basketnya. "Orang tua kalian pasti bangga sama kalian." Ujar salah satu siswa. Dibalas senyuman kecil dari teman teman Afgan. Tapi Afgan. Pernyataan itu justru membuatnya tidak mood berada di lingkungan saat ini.

"Gw ke toilet bentar." Ujar Afgan pada Kelvin. Dia pergi menghindari teman teman nya yang lain. Afgan berada di toilet yang saat ini sedang sepi. Hanya ada dia sendiri.

Afgan menatap dirinya di cermin. Bayangan masa lalu seakan terlihat di cermin. Kejadian yang membuat Afgan kehilangan belahan jiwa nya, separuh hidupnya. Mama nya.

"Mama awaass!" Teriak laki laki remaja yang memakai topi hitam.

Bugh..

Mobil menghantam seorang wanita dewasa yang mengenakan pakaian berwarna putih. Laki laki bertopi hitam mendekati wanita ber dress putih dengan darah yang masih mengalir deras dari kepala wanita itu.

"Mamaaa." Teriak histeris laki laki bertopi hitam. Ia mengguncangkan tubuh wanita itu. "Mama bangun ma. Jangan tinggalin agan ma. Bangun." Laki laki itu menangis. Air mata nya keluar dengan deras.

Wanita yang di sebut mama nya itu di bawa oleh ambulan ke rumah sakit terdekat. Afgan. Nama laki laki bertopi hitam. Yang kini sedang duduk di kursi ruang tunggu rumah sakit. Menunggu kabar mama nya yang sedang ditangani oleh dokter.

"Gan." Panggil seseorang. Afgan menengok. Orang tersebut duduk di sebelah Afgan. "Mama pasti baik baik aja gan. Percaya sama kakak. Kita berdoa ya semoga mama bisa melewati masa kritis nya." Ujar laki laki itu mengelus punggung Afgan. Afgan terisak.

Dokter keluar dengan raut wajah yang tidak bisa diartikan. Afgan dan laki laki yang disebut kakak nya itu berdiri. "Gimana keadaan mama kami dok?." Tanya kakak Afgan.

"Maaf. Kami sudah melakukan yang terbaik. Namun Tuhan berkehendak lain. Ibu Diana tidak bisa kami selamatkan." Ujar dokter tersebut. Mata Afgan membulat sempurna. Hatinya seperti dihancurkan oleh bom yang datang tiba tiba.

"Ga mungkin dok. Mama saya ga mungkin pergi ninggalin saya. Ga mungkin dok." Afgan bergegas masuk. Tangisnya semakin menjadi. Melihat wajah sang mama yang pucat. Afgan memeluk mama nya dengan erat. Sedangkan laki laki yang merupakan kakak Afgan hanya bisa menangis melihat jasad mama nya. Dan membiarkan Afgan menumpahkan kesedihan nya.

Proses pemakaman sudah dijalankan. Afgan dengan kacamata hitamnya menyembunyikan tangis kesedihan nya. "Ma. Kenapa mama ninggalin agan sama kak Reno. Kenapa ma. Apa salah aku sama kakak. Sampai mama biarin kita hidup berdua." Isak Afgan. Kakak Afgan yang bernama Reno hanya bisa berdiri menatap makam sang mama. Dia berusaha kuat.

"Reno akan jaga agan ma. Agan aman sama Reno. Mama yang tenang disana ya. Reno sama agan sayang banget sama mama." Ujar Reno dalam hatinya. Ia menyentuh pundak Afgan. "Pulang yuk, udah sore." Ajak Reno. Afgan mengangguk lemah. Ia menghapus air matanya. Dan berdiri. Keduanya pergi meninggalkan lokasi pemakaman.

AGASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang