39. Kehendak Tuhan

77 9 7
                                    

"Kalau di lauhul mahfudz mu tertuliskan kematian bukan pernikahan impian mu dan aku, tidak apa-apa kan?"
.
.
.

1 Minggu sudah berlalu. Afgan tidak kunjung menunjukkan tanda-tanda ia telah melewati masa kritis nya. Berbeda dengan Rossa yang setiap hari pasti ada gerakan dari tangannya, walaupun mata nya masih terpejam.

"Kapan kamu bangun Cha. Kamu ga kangen sama kakak? Sampai kapan kamu tutup mata kamu.." ujar Daniel. Ia benar-benar rindu dengan adiknya itu.

Tiba-tiba Daniel di buat terkejut dengan gerakan tangan Rossa dan mata Rossa yang mulai membuka perlahan. Shania yang kebetulan berada di ruangan Rossa langsung memeriksa nya.

Sedangkan Daniel, dia keluar dari ruangan Rossa. Memberikan ruang untuk Shania memeriksa Rossa dengan intensif.

Shania tersenyum. "Alhamdulillah kamu udah sadar cha. Kakak kamu, orang tua kamu, semua nungguin kamu sadar cha.. terimakasih udah berjuang dan mau bertahan.." ujar Shania. Rossa sedikit tersenyum.

Tapi hanya satu nama yang saat ini ada di fikiran Rossa. Kenapa Shania tidak menyebut Afgan diantara orang orang yang menunggu dirinya. Apakah Afgan tidak menunggu nya bangun? Tidak mungkin.

"Agan.." sebutnya. Shania diam sejenak.

"Sekarang kamu istirahat yah, jangan banyak pikiran dulu, nanti kalau udah membaik insyaallah nanti kamu akan di pindah ke ruang rawat." Ujar Shania. Ia mengelus kepala Rossa lembut.

"Kakak pamit keluar dulu yah. Selamat istirahat cantik." Ujar Shania.

Rossa masih bingung. Kenapa Shania tidak berkata apapun tentang Afgan. Ada apa sebenarnya.

Namun karena efek infus Rossa kembali menutup matanya.

Di depan ruangan ICU. Shania menemui Daniel dan mengatakan kondisi Rossa yang sudah membaik. Dan jika dalam satu sampai dua hari Rossa sudah semakin membaik dan tidak perlu pengawasan khusus maka akan di pindahkan ke ruang rawat.

"Tadi ocha nanyain tentang Afgan." Ujar Shania. Daniel tahu itu.

"Nanti kalau ocha udah sadar dan nanya tentang Afgan ke kamu niel. jawab aja yang sebenarnya." Ujar Shania.

"Tapi.. apakah ga berdampak sama kondisinya sekarang?" Tanya Daniel.

Shania menghela nafasnya. "Jujur itu lebih baik niel. Ocha pasti bisa mengontrol dirinya sendiri. Kondisi ocha justru akan memburuk kalau kita menyembunyikan ini semua. Dia pasti nyariin Afgan. Dan akan terus memikirkan Afgan. Membuat nanti kondisinya akan menurun." Ujar Shania.

Daniel menghela nafasnya. Mungkin memang seharusnya seperti itu. Daniel akan mengatakan nya nanti jika Rossa bertanya.

"Terimakasih ya Shan udah selalu ada buat aku dan keluarga." Ujar Daniel. Shania mengangguk.

"Jaga ocha yah. Insyaallah dia bisa kembali baik baik aja." Ujar Shania.

"Tolong lakukan yang terbaik buat Afgan shan. Dia laki laki yang tepat buat ocha. Aku percaya sama kamu Shan." Ujar Daniel. Shania tersenyum.

Daniel pamit lalu masuk ke dalam ruangan Rossa.

"Jika tuhan menakdirkan Afgan tiada, apa yang bisa aku perbuat niel. Sampai detik ini harapan itu tidak terlihat niel. Sampai detik ini, Afgan belum menunjukkan tanda-tanda ia akan bertahan. Jika memang ia memilih untuk menyerah, aku bisa apa niel.. yang aku hadapi saat ini adalah takdir tuhan niel. Bukan manusia." Ujar Shania. Ia menghela nafasnya lalu pergi.

Di samping ranjang Afgan Reno duduk dengan memegang Al-Qur'an. Ia mengaji di sebelah Afgan. Berharap Tuhan memberikan keajaiban. Adiknya itu bangun.

Tiba-tiba pintu terbuka. Shania masuk. Membuat Reno menghentikan kegiatan mengaji nya itu.

AGASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang