22 | GENGSI

5.4K 658 31
                                    

Meski Citra menolak tawaran Rafan yang ingin mengantarnya pulang, tapi pria itu tetap memaksa. Alhasil dalam kesunyian Rafan mengemudikan mobilnya pulang ke rumahnya.

Di dalam mobil tersebut benar-benar hening, baik Citra maupun Rafan tak membuka suara. Beda halnya di rumah sakit tadi, Rafan senantiasa mengajaknya bicara sehingga Citra sempat melupakan apa yang terjadi di antara mereka.

Tiba di tempat tujuan, Citra melepas sabuk pengamannya, kemudian menoleh ke arah Rafan yang menatapnya. "Kamu pake mobilku aja, besok aku suruh Pak Rudi yang ambil," ujar Citra.

Rafan menggeleng pelan. "Biar aku yang nyuruh orang buat anter ke sini."

"Oke," Citra pun mengangguk. "Kamu hati-hati di jalan."

Saat Citra hendak membuka pintu, suara pintu terkunci terdengar, ia kembali menatap protes Rafan yang terlihat kalem dengan senyum kecil.

"Aku gak suka hubungan kita yang dingin kayak gini," ujar Rafan.

"Oke. Sorry untuk waktu itu. Aku ajak kamu untuk hadirin acara resepsi sepupuku, tapi aku malah cuekin kamu dan ninggalin kamu untuk tidur lebih dulu." Citra tau kesalahannya dan ia meminta maaf.

Rafan agak terpengarah dengan sikap Citra. Biasanya seorang wanita paling tinggi egonya, dan anti minta maaf. Makanya ada istilah, 'wanita selalu benar'. Meski sikap Citra seminggu belakangan ini tetap menunjukkannya sebagai seorang wanita yang egonya tinggi karena tak menghubunginya sama sekali dan jangan lupakan tentang semalam, wanita itu yang melampiaskan amarah padanya.

Melihat Rafan hanya tersenyum membuat Citra mendengus pelan. Harusnya ia tidak cemas jika Rafan akan merasa kesal atas sikapnya saat itu. "Ya udah, kamu pulang."

"Hei, kita belum selesai!" Rafan menarik pergelangan tangan Citra yang hendak membuka pintu.

Citra bersidekap menatap Rafan, menunggu pria itu bicara. Tapi, Rafan malah hanya menatapnya. "Apa lagi?"

"Kamu gak kangen sama aku?" Rafan mengulas senyuman manis lalu merentangkan tangannya. "Kali aja kamu mau peluk?"

Citra tidak mengacuhkan Rafan dan keluar dari mobil. Rafan menurunkan kaca mobil dan segera berteriak. "Turunin gengsinya cantik!"

Citra hanya mendengus dan semakin mempercepat langkahnya.

Keesokan harinya, ia pikir orang suruhan Rafan yang mengembalikan mobilnya, tapi pria itu sendiri. Dengan senyuman manis seperti biasanya, membuka pintu untuknya.

"Kenapa kamu yang bawa mobilku?"

"Gak ada orang yang mau disuruh."

"Terus kenapa kamu yang nyetir?" Rafan berdecak gemas, ia pun mendorong pelan Citra agar masuk kemudian di susul olehnya. 

"Kenapa sih semalem kamu gak nelpon atau kirim chat ke aku?" ujar Rafan dengan nada merajuk, Citra yang tadinya fokus ke ponselnya melirik malas pria itu.

"Gak sempat."

"Gak sempat atau gengsi? Harus aku yang hubungin lebih dulu, gitu?" Rafan terkikik saat menyadari delikan kesal dari Citra. Tangan kirinya terulur untuk mengusap rambut Citra. "Ternyata kamu gengsian juga, ya?"

Citra hanya berdecak, tapi tetap membiarkan tangan Rafan mengusap rambutnya.

Saat tiba di hotel, Rafan kembali menggoda Citra, mengunci pintu ketika Citra hendak membukanya. Saat Citra menatapnya, ia mengerucutkan bibirnya. "Kiss," ujarnya pelan. "Aku tau kok kamu kangen sama bibirku."

"Kamu aja yang kangen, aku enggak!" sentak Citra kesal kemudian keluar dari mobil. Melangkah, tanpa menoleh ke arah belakang lagi, tapi bibirnya terkulum untuk menahan sebuah senyuman.

I HATE LOVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang