Part [48]

5.8K 463 37
                                    

Hening tercipta cukup lama. Saat Januar mengatakan hal yang membuat kedua pasang mata didepannya itu terpaku, dengan tubuh yang menegang seketika.

Freya mengeratkan tautan tangannya pada Januar, mencoba mengumpulkan kekuatan untuk bisa menghadapi detik-detik selanjutnya.

Dan sepanjang waktu menunggunya, Freya tak berani menatap mata kedua orangtuanya, yang mungkin sekarang tengah memandangnya murka.

Jantungnya berdentang hebat, seolah tengah berpacu pada waktu yang tidak menentu.

"Benar begitu, Freya?"

Freya. Panggilan yang sangat bahkan hampir tidak pernah ia dengar dari mulut kedua orangtuanya.

Dan sekarang, itu terdengar jelas saat Candi mengucapkannya dengan nada berat, dan ... bergetar.

Lidah Freya berubah kelu, saat dadanya terasa bak ditusuk beribu jarum tak kasat mata. Saat Januar kembali mengusap punggung tangannya, Freya memberanikan diri untuk menatap mata Candi, menggerakan kepalanya yang semula menunduk untuk sedikit mendongak, "Bi..." Bibir Freya bergetar, saat mendapati sorot terluka Candi, padahal ia belum sempat menjawab pertanyaannya. Namun, senyum tipis Candi seolah menyiratkan harap kalau Freya akan menjawab, tidak.

Namun, anggukan Freya berhasil membuat kedua bahu Candi dan Sahilla merosot turun. Setelahnya, Sahilla memeluk suaminya itu sambil menumpahkan tangisnya.

"Maafin Peya, Bi, Mi."

"Ini semua murni salah saya, Om, Tan. Saya--"

"Ngga, Abi, Umi, ini salah Peya. Bukan Januar. Peya--"

"Yang jelas kalian berdua sama-sama salah." Candi mengusap wajahnya kasar, dengan satu tangan lain yang masih bertengger di bahu istrinya, berusaha menenangkan Sahilla lewat usapan tangannya. "Freya, Abi sama Umi udah ngasih kamu kepercayaan dalam segala hal. Tapi, kenapa kamu tega kecewakan kami dengan hal yang sefatal ini?" Candi mengangkat tangannya, mengisyaratkan kalau ia tak ingin mendengar jawaban Freya.

Candi menggulirkan matanya pada Januar, tatapannya berubah tajam, "dan kamu ..." Ada jeda untuk menghela napas beratnya, "saya baru mengenal kamu hari ini. Sebelumnya kamu tidak pernah sekalipun meminta izin kami sebagai orangtuanya untuk menjalin hubungan dengan Freya, putri kami. Tapi kamu sudah seberani itu untuk ... meniduri anak kami? Apa kamu tidak sedikitpun memikirkan perasaan kami sebagai orangtuanya? Orang yang sudah membesarkan serta merawat Freya dari kecil? Orang yang berusaha selalu menjaganya, dan kamu tiba-tiba ... merusaknya."

"Bi--" Januar semakin mengeratkan tangannya, menggeleng pelan saat dirasa Freya hendak menyela ucapan Abinya.

"Saya benar-benar minta maaf Om, Tan. Kalau Om dan Tante ingin menghukum saya, saya siap menanggung resikonya. Om silahkan hajar saya bila perlu, sampai Om puas, saya tidak akan melawan, saya akan--"

"Ya, saya ingin sekali menghajar kamu, Januar. Tapi itu tidak akan membuat saya puas, dan tidak akan mengurangi rasa kecewa dan marah saya. Yang ada, saya hanya buang-buang tenaga."

"Lantas, apa yang harus saya lakukan, Om, Tan, demi menebus kesalahan saya?"

"Sssstt," Candi mengalihkan atensinya pada Sahilla yang laju napasnya semakin tak beraturan. Ia menunduk, menangkup kedua pipi istrinya itu, "Umi mau ke kamar dulu? Abi anter." Sahilla mengangguk, menyeka air mata di pipinya, lalu berjalan sambil dipapah oleh Candi.

Tak lama, pria itu kembali menghampiri Freya dan Januar yang masih dengan posisinya. "berapa usianya Freya?"

Freya menunduk, melirik perutnya sesaat, "mau ke empat, Bi." Freya lalu berdiri, berjalan dengan langkah beratnya, lalu meluruhkan tubuhnya dilantai, bersimpuh dikaki Candi, dan menumpahkan tangisnya, "maafin Peya, Bi. Peya udah ngecewain Abi sama Umi, Peya malah ngerusak kepercayaan Abi sama Umi, Peya bener-bener salah, Bi. Peya minta maaf." Candi menatap kedua bahu yang tengah gemetar karena tangisnya itu dengan sorot terluka. Ia hanya diam, tak bersuara. Membiarkan Freya menyesali perbuatannya lewat tangisan pilunya.

FREYA : MY NAUGHTY GIRLTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang