Part [62]

5.9K 380 22
                                    

"Gue seneng banget Frey, Lo akhirnya bisa masuk kuliah lagi." Jam mata kuliah baru saja selesai. Dan itu membuat Rania langsung menghampiri Freya yang tengah menatap kearah luar jendela, tanpa terlihat ingin beranjak dari duduknya sama sekali, disaat yang lain sudah mulai meninggalkan ruangan kelas satu persatu.

Ucapan Rania membuat Freya menoleh kearahnya, kerutan didahinya perlahan menghilang bersamaan dengan kedua sudut bibirnya yang bergerak naik. "Hai, Ran." Sapanya ramah, "iya ... nih, hehe..." Setelah mengatakan itu, Freya kembali diam. Membuat Rania menatap wajah temannya itu cukup lama kali ini.

Freya yang merasa ditatap lekat menautkan alis, "em ... kenapa?" Jemarinya bergerak menyisir rambut, "gue ... berantakan? Atau--"

"Oh ngga kok." Ralat Rania dengan cepat sambil terkekeh, "Frey, can we talk? Kita emang lumayan sering ketemu, tapi belum sempet ngobrol banyak karena--"

"Sure, Ran. Kita ke coffe shop deket kampus aja gimana?"

Rania langsung menyetujui tawaran Freya, dan setelahnya merekapun langsung menuju tempat ngopi di daerah samping kampusnya.

Freya menyesap latte yang ia pesan, sedangkan Rania sama sekali belum menyentuh macchiato-nya. "Sorry ya, gue belum sempet main kerumah Lo buat jenguk ... keponakan Lo." Ucap Freya membuka suara terlebih dahulu.

"Eh ... santai aja, Frey. Lo juga kan baru pulih belum lama ini. Jadi bisa kapan-kapan aja main buat nengok Haura."

Haura Jovanka. Nama bayi perempuan tengah mereka bicarakan itu tentu sudah diketahui Freya sebelumnya. "Gue sering lihat dia lewat foto-foto di galeri hp nya Bang Pau." Freya mengulas senyum tipisnya tanpa sadar saat mengingat momen dimana ia menatap lekat foto bayi mungil itu. "Cantik ponakan Lo, Ran."

"Siapa dulu dong Aunty nya." Rania langsung memasang mimik sombongnya dengan kedua alis yang ia naik turunkan.

"Tapi ngga mirip Lo tuh. Malah mirip bapaknya."

"Ih iya anjir," Seketika raut wajah Rania berubah kesal, "sumpah ya Frey, kok bisa banget Vanka mirip bokapnya, padahal kan tu orang ngga berkontribusi apapun selama kehamilan Vio. Dia cuma nabur benih doang."

"Iya sih Ran. Tapi, mau gimanapun kan Januar bokapnya. Jadi ya mukanya ngga jauh-jauh dari Ciara atau Januar."

Rania mengangguk malas, "tapi asal Lo tahu ya Frey, setiap gue liat mukanya Vanka, ada rasa kesel aja yang timbul sendirinya gitu. Gue sayang sama dia. Tapi, gimana ya, kalau inget kelakuan bapaknya tuh geram banget rasanya. Gue ngga bermaksud buat--"

"Hm, gue paham kok Ran." Freya menepuk pelan punggung tangan Rania, "kalau Ciara sendiri gimana?"

"Ya kalau Vio kayaknya udah mulai biasa aja sih. Dia sekarang lagi fokus ke Vanka jadi ngga mau mikirin hal-hal lain dulu. Kalau ... Lo sendiri, gimana Frey?"

"Hm?" Freya menipiskan bibirnya, "gue? Kenapa?"

"Maksud gue tentang hubungan Lo sama Rezel."

"Oh, ya ... gitu. Ngga gimana-gimana, Ran. Kita baik-baik aja."

"Kalian udah ... baikan?"

Baikan?

Freya sendiri juga belum tahu jawaban atas pertanyaan tersebut, kalau mengingat hubungannya dengan Rezel tak bisa dibilang memburuk, juga sebaliknya, tak bisa dibilang membaik. Baik-baik yang ia maksud tadi adalah, tentang interaksinya dengan lelaki itu yang masih di tahap normal. Tak berlebihan. Dimana Freya akan membiarkan Rezel menemuinya, tanpa berusaha untuk menghindarinya. Seperti dulu.

"Mungkin?" Freya terkekeh pelan, "kita berdua belum ngobrol serius lagi sih, Ran. Interaksi gue sama Rezel ya gitu-gitu aja. Dia memang bantu gue pas proses pemulihan kemarin. Tapi obrolan kita ngga jauh-jauh tentang kondisi gue sendiri sih."

FREYA : MY NAUGHTY GIRLTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang