Chapter 7

1.2K 68 44
                                    

[Viola POV]

Suasana hening menyelimuti acara makan malam, hanya terdengar dentingan sendok saat kami makan. Tidak ada yang memulai pembicaraan yang sebenarnya sangat aku tunggu seseorang angkat bicara. Menjelaskan bagaimana hal ini bisa terjadi dan apa maksud semua ini. Aku menatap mereka yang masih membuat musik dengan piring dan sendok.

"Reviola, kenapa kamu tidak makan makananmu?" tanya Mama, dia menyadari bahwa aku hanya mengaduk-aduk makananku.

"Ah, tidak apa-apa Ma, tidak begitu lapar," jawabku sekenanya. Nafsu makanku hilang saat melihat laki-laki yang tersenyum tanpa dosa di depanku.

"Kamu sakit?" tanya Mama lagi, aku hanya menggeleng dan mengulas senyum. Tidak ingin membuat Mama khawatir.

"Ada acara apa malam ini, Ma?" tanyaku mencoba menenangkan suasana hatiku yang mulai emosi. Akhirnya akulah yang memulai pembicaraan ini karena sepertinya mereka telah merencanakan sesuatu yang mungkin tidak aku suka.

Mama menyelesaikan makannya, lalu menatapku dengan penuh arti. "Hanya ingin makan malam saja, juga ada yang ingin Mama sama Papa bicarakan."

Aku menunggu kata-kata yang keluar dari mulut Papa, semoga tidak membuat emosiku keluar dengan yang tidak-tidak. Masih dapat aku tahan, sabar Viola.

"Papa ingin kamu bertunangan, Viola." Papa tersenyum, tidak denganku.

Aku terbelalak mendengar pernyataan Papa. Ini terlalu mendadak untukku.

"Romi, apa kamu sudah ada rencana untuk acara pertunangan kalian?" tanya Papa pada laki-laki yang sedari tadi menatapku.

Apa maksud semua ini.

"Belum sih, Om," jawabnya seraya mengerlingkan matanya ke arahku.

"Maksud Papa apa?" nadaku mulai meninggi. Ya, aku akui emosiku mulai naik.

Papa tersenyum melihatku, "kamu akan bertunangan dengan Romi. Satu bulan lagi akan diselenggarakan acara pertunangan kalian."

DEG!

Sepertinya emosiku mulai menaik karena hal ini. Sebenarnya, apa yang Papa inginkan? Bukannya mereka sudah mengetahui jika aku memang tidak dekat dengan Romi? Kenapa mereka tetap melakukan hal ini. Astaga.

"Tidak, aku tidak mau, Pa. Aku tidak pernah mencintai dia, jangan memaksa anakmu ini. Anakmu sudah bisa mencari jodoh sendiri sesuai pilihannya. Maaf Pa, sebaiknya aku pulang. Sudah selesai aku berada di sini." Aku melangkahkan kakiku menjauh dari meja makan.

Tanganku terus mengepal menahan emosi. Tidak menyangka, hidupku seperti ada di masa Siti Nurbaya. Padahal zaman ini sudah sangat jauh dari masa Siti Nurbaya. Aku hanya bisa menahan tangisanku yang memaksaku untuk mengeluarkannya. Tidak, ini bukan waktu yang tepat.

"Viola, tunggu!" suara itu, suara yang selalu wajib aku hindari.

Kakiku terus melangkah, menghiraukan panggilannya. Tetapi saat aku hampir sampai di teras rumah, Romi menarik tanganku hingga tubuhku seketika berbalik menghadap tubuh Romi. Aku sedikit terkejut karena pergerakan yang tiba-tiba.

"Lepas!" sahutku seraya mencoba melepaskan tanganku dari genggamannya. Rasanya usahaku sia-sia, karena tenaganya lebih besar dari tenagaku walaupun aku sedang emosi sekalipun.

Romi mengusap wajahnya dengan kasar. "Jangan bodoh. Kamu mau Papa kamu sakit karena perkataanmu tadi?"

Sesaat aku terdiam, mengingat perkataan Rezal saat dia memberitahuku bahwa Papa kerap jatuh sakit. Sehingga Rezal harus menggantikan posisi Papa di perusahaan sendiri. Aku juga takut jika Papa sakit, tapi aku juga tidak ingin perjodohan ini terjadi.

Fascinated (Dalam Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang