Chapter 23

556 26 4
                                    

Chapter 23

Viola POV

Aku memarkirkan mobilku tepat di depan teras rumah. Berjalan gontai menuju pintu utama. Sesekali berdeham untuk meredakan sakit di tenggorokanku, mungkin karena banyaknya menangis.

Memasang wajah lemas, aku membuka pintu rumah tanpa mengucapkan satu katapun. Tiba-tiba muncullah anak kecil berambut panjang di depanku yang membuatku terlonjak. Siapa anak ini?

"Hayoo! Aku Vanya, adik kakak Romi!" seru anak kecil berambut panjang itu.

Apa?

"Selamat malam Viola, kenalkan ini Vanya Rosselina Faris. Dia adik tiri Romi," ujar Mama Sintya, Ibu Romi.

Apa?—lagi.

"Mama Sintya, aku tidak tahu kalau Romi mempunyai adik, emh tiri," ucapku yang kini mulai tertarik dengan info ini.

"Ya, Mama baru saja mengangkat dia sebagai anak. Mama ingin sekali mempunyai anak perempuan," ujar Mama Sintya seraya tertawa.

Aku tersenyum, mengacak rambut Vanya yang menurutku sangat indah. "Halo, kakak Viola, selamat datang Vanya."

"Viola, dimana Romi?"

Bagaimana aku harus menjawab pertanyaan ini? "Dia, lembur Ma," elakku.

"Syukurlah, Mama kira kalian sedang ada masalah." Kali ini Mamaku lah yang menjawab.

Oh, andai kalian tahu yang sebenarnya terjadi.

"Emm, aku masuk kamar dulu ya?"

Lagi-lagi, aku memasang wajah lelahku. Meregangkan otot-otot punggung dan leher. Pekerjaan hari ini cukup melelahkan. Pantas, Rezal begitu lelah. Sampai di kamar, aku merebahkan tubuhku. Memejamkan mata mencoba untuk tidur.

Teringat ponsel aku matikan semenjak makan siang tadi, aku menghidupkannya. Memunculkan beberapa pesan dari, ya Romi. Juga banyak sekali missed call darinya juga. Dengan malas, aku membuka isi pesan tersebut.

Romi Devryan-Jerk-: Jangan seperti anak kecil.

Romi Devryan-Jerk-: Aku minta maaf. Aku yang seperti anak kecil.

Oh ayolah Viola, aku tahu ini adalah akal-akalan Romi agar aku mau diajaknya keluar. Kamu tidak perlu terbawa perasaan. Merasa sebal, aku berguling sana-sini karena sangat pusing memikirkan masalah rumah tanggaku. Tidak pernah aku memikirkan sampai kesini.

"Kak, ini kamar kakak 'kan?"

Suara Vanya, suara imut itu berada di ruang kamarku? Aku menoleh ke arah pintu, mendapati Vanya telah menyembulkan kepalanya. Oh, kenapa dia sangat imut.

"Ya, masuklah sayang."

Vanya membuka lebar-lebar pintu kamarku, lalu berlari kecil ke arahku. Dia merebahkan tubuhnya di atas kasur. Terdapat tawanya yang tulus. "Vanya belum pernah merasakan kasur empuk, juga belum pernah masuk ke dalam kamar perempuan yang sangat besar ini."

"Vanya boleh sering main ke kamar kakak. Jangan pernah sungkan ya?" Vanya mengangguk. Anak kecil berumur 3 tahun ini, kenapa dia sudah berada di panti asuhan? Apa orang tuanya meninggal atau memang sengaja dibuang? Kasihan sekali.

Aku terduduk, menyandarkan punggungku pada tumpukan bantal. "Vanya, suka sama Mama Sintya?"

"Ya, snagat suka. Mereka baik sama Vanya. Mereka bukan orang tua jahat yang sering Vanya dengar dari teman Vanya. Pertama, Vanya takut bahwa dugaan itu benar. Tetapi, setelah merasakan itu, Vanya tidak lagi berpikiran seperti itu."

Fascinated (Dalam Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang