Chapter 12

524 35 8
                                    

Chapter 12

Aku memakai short dress mocca dan siletto mocca 5 cm. Romi yang memilihkan ini semua, dia lancang masuk kamarku hanya untuk memilihkanku pakaian. Memang selama ini, seleraku tidak sesuai dengan seleranya? Menyebalkan.

"Lagi-lagi jangan lancang masuk kamar orang!" tegasku padanya setelah aku selesai memakai semua yang dia pilih. Tetapi, aku akui seleranya bagus juga.

Dia hanya tersenyum kepadaku dan melingkarkan tangannya di pinggangku. Kali ini, aku tidak menepis tangannya dari pinggangku. Karena, perasaan aneh yang aku rasakan semenjak tadi pagi masih menempel. Dan itu membuat aku enggan marah padanya.

"Jangan melamun, nanti di ambil orang."

"Huh? Siapa yang melamun?"

Aku mengelus dadaku, mencoba sabar menghadapi perasaanku yang berubah-ubah seperti bunglon. Aku ingin bertanya pada diriku sendiri, apa aku 'mulai' mencintai Romi? Calon suamiku nanti? Apa aku memang benar-benar akan mencintainya nanti? Apa ini semua adil bagi kami semua?

Aku terdiam, menatap Romi dengan tatapan menyelidik, bukannya takut tetapi malah menyelidik. Wajah tampannya tidak kalah tampan dengan wajah milik Bayu. Romi memang laki-laki yang mempunyai sikap dingin. Terlihat dari mimik wajahnya. Namun dibalik itu semua, dia mempunyai sifat lembut. Terlihat dari cara dia tadi pagi. Tunggu, sejak kapan aku tertarik menilai Romi?

Romi mengguncang bahuku, "Melamun, lagi?"

"Ahh, memang tidak boleh?" Aku membuang jauh-jauh pandanganku dari Romi, menepis pikiranku tentangnya. Romi tersenyum lalu membelai puncak rambutku.

Kami melanjutkan perjalanan menuju butik. Sekalian membeli cincin juga fitting baju. Ternyata, tunangan tidak semudah menepuk tangan ya. Padahal ini juga belum kemauanku sendiri. Kami disambut hangat oleh para pelayan butik ini, maklum salah satu usaha dari orang tua Romi.

Setelah pasti dengan cincin yang Romi pilih. Aku mengikuti pelayan itu untuk menuju ruang fitting baju. Kemewahan dan kemegahan baju-baju bernuansa putih ini membuatku ingin segera memilikinya. Ah, seandainya Mama memiliki usaha butik juga.

"Apa ini semua milik keluarga Faris?" tanyaku karena terkagum melihat sederetan gaun putih yang elegan.

"Iya bu, ini bajunya di coba dulu," kata pelayan itu sembari menyerahkan sebuah sack dress putih.

Aku mencobanya, dan benar ini sangat pas di badanku. Aku juga suka melihatnya, nyaman. Tapi tujuanku memakai baju ini untuk tukar cincin dengan Romi. Apa itu sebuah kebahagiaan?

"Wah, benar-benar cocok dan pas dipakai ibu, ini pilihan Pak Romi loh," kata pelayan itu. Pipiku memerah seketika.

"Selera dia bukan main. Em, iya sudah yang ini saja ya mba."

Aku keluar dari ruang ini dan menemui Romi yang ternyata sedang berbincang dengan seorang gadis cantik. Rasa kesal menghampiriku saat ini.

"Kita pulang sekarang," ucapku dengan penuh penekanan.

"Oh sudah selesai ya. Eh Vio, apa kamu tidak mengenali gadis ini?"

Aku menyelidiki gadis yang tersenyum padaku, tatapan sinis kutujukan untuk gadis itu. "Hmm, tidak."

"Novi, apa kamu lupa denganku Vio?" ucap gadis yang mengaku Novi.

Gadis itu Novi? Tidak salah dia berubah menjadi cantik dan putih. Tidak seperti dulu, yang kulitnya hitam manis dan kecantikannya yang berbeda dengan sekarang. Dia seperti melepas topeng saja.

"Oh, beda sekali ya dengan dulu," sindir halusku. Apa dia akan peka?

"Oh, iya aku sengaja melakukan perawatan." Dia menunjukkan senyum kebanggaannya. Tidak hilang dari dulu, dia tetap sombong dengan senyumnya.

"Romi, kita pulang. Atau aku saja yang pulang!"

Entah mengapa moodku hilang semenjak melihat Novi, kecentilannya kepada Romi membuatku jengah melihatnya. Tunggu, apa aku sedang cemburu?

"Oh, kamu sekarang calon istri Romi ya? Bayu kemana Vio? Apa kamu sudah melupakannya setelah dia jatuh miskin?" Novi menunjukkan smirk kepadaku.

Aku heran dengannya, tidak tahu kenapa dia berkata seperti ini. Tanganku mengepal saat mendengar ucapannya yang tidak pantas dia lontarkan. "Bukannya pertanyaan itu untuk kamu ya? Aku dengar dari dia kamu bosan menjalankan hubungan dengannya."

Dia hanya terdiam, aku rasa perkataanku ada benarnya juga. Aku menyilang tanganku, merubah posisiku sok elegan. "Jadi, koreksi dirimu dulu baru orang lain ya. Aku ingin pulang, karena ternyata calon tunanganku tertarik dengan gadis sombong bin centil seperti kamu. Bye."

Aku melangkah keluar dari butik ini, dengan stiletto yang aku hentak-hentakkan. Rasa kesal memenuhi dadaku hingga rasanya sesak. Air mataku juga rasnaya ingin tumpah.

Aku. Cemburu.

"Kenapa saat aku mulai tertarik, saat itu juga aku harus merasakan sakitnya?"

Aku menumpahkan rasa sakitku dalam tangisan. Meratapi kebodohanku saat ini, yang aku tidak tahu itu apa. Disini, masih di parkiran butik aku duduk dengan tangisan yang aku tahan. Menangis dalam diam mungkin lebih baik.

"Siapa sebenarnya yang sekarang aku cintai?" gumamku pada diriku.

"Siapa?"

.

TBC

Maaf ya pendek sangat :'D . Jangan lupa ya baca sequelnya TFl [1] - Ainan. :D

Fascinated (Dalam Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang