Chapter 34

549 17 2
                                    

Chapter 34

Viola POV

==

Wajahku tersirat bahagianya saat melihat bayi kecil berada dalam gendonganku. Aku menimangnya, menciumi kulit merahnya yang sebentar lagi menghilang. Dan, aku membayangkan Arion seperti ini, satu tahun yang lalu.

"Welcome Darel!" ucapku seraya menggoda bayi kecil ini.

"Dia sama tampannya dengan ayahnya ya Viola?" ucap Jihan, dia masih terbaring di atas ranjang.

Aku menengok dua laki-laki yang tengah duduk di sofa. Berbincang masalah bisnis. Aku mengangguk setuju. "Hidungnya, mancung. Dan wajahnya setampan Emre."

"Aku yakin, kamu sebahagia ini dulu," ucap Jihan yang baru aku sadari dia telah mengubah logat bahasanya.

Tersenyum miris, aku melihat lagi ke wajah bayi Darel. "Iya. Aku sebahagia kamu saat itu. Tetapi, karena aku sangat bahagia, aku lupa bahwa ada yang terluka saat itu juga. Membuatku harus merasakan lukanya yang dia rasakan."

Tangan Jihan mengelus perutku yang mulai membesar, kandunganku sudah berjalan dua bulan. Iya, akibat ulang tahun Romi, aku akan memiliki anak lagi.

"Yang sabar ya Viola, mungkin memang ini jalan yang terbaik."

"Aku, terlalu bahagia ya? Sampai-sampai ada yang sangat terluka?" Aku menunduk, menoel pipi merah Darel. "Jaga bayi kamu ya, jaga Darel. Jangan sampai kamu sepertiku."

Jihan mengangguk, dia bangkit dan memelukku. "Kamu juga ya, jaga adik Arion. Jangan sampai terulang kedua kalinya."

Aku hanya mengangguk, lalu menyerahkan Darel ke pelukan Jihan. Saat hari mulai sore, aku berpamitan dan memilih pulang. Romi mengetahui perasaanku, tetapi dia mendiamkanku karena dia tahu aku selalu ingin sendiri disaat seperti ini.

Saat di rumah, aku memilih untuk tidur lebih awal. Karena, memang badanku pegal dan sedikit lelah. Aku harus istirahat demi kesehatan bayiku. Itu utamanya.

"Viola, bagaimana kalau aku buatkan kamu hot milk?"

Aku menggeleng pelan. "Tidak perlu, aku sudah mengantuk."

Dan, malam itu ingatanku pada Arion kembali lagi. Juga ingatanku tantang dia.

--

Aku takut, jika ibu hamil seperti aku, mengidam bukan soal makanan atau hal apalah. Tetapi, aku mengidam ingin bertemu Arion. Aku takut karena akhir-akhir ini aku jatuh sakit, memikirkan bayi Arion.

Romi cemas memikirkanku yang selalu memanggil nama Arion jika aku tertidur. Yang aku takutkan terjadi juga 'kan?

"Romi, dimana Arion?" tanyaku dalam mata terpejam.

"Viola, badanmu semakin panas. Kita ke rumah sakit ya?"

Kurasakan tubuhku melayang, aku seperti terbang hanya beberapa menit saja.Setelah itu aku sudah terduduk di kursi mobil. Dingin, aku menggigil. Membuat Romi mematikan AC mobil.

"Tolong kembalikan anakku, dia anakku, bukan anakmu. Kenapa kamu membawanya?" racauku, demam yang sangat tinggi membuatku tidak bisa mengendalikan diriku.

Aku masih bisa merasakan tangan kananku digenggam erat oleh Romi, membuatku sedikit lebih tenang. Lalu, mobil Romi berhenti. Kembali lagi tubuhku melayang dan mendarat di sesuatu yang empuk.

Aku berada di rumah sakit sekarang.

Tidak bisa merasakan apapun sebelumnya, aku terbangun dengan keadaan lebih baik dari sebelumnya. Panas mulai turun dan sakit di kepalaku juga sudah hilang. Aku bisa sedikit tenang karena tidak memikirkan apapun lagi.

Takut jika bayi di dalam kandunganku ikut sakit.

"Romi, aku haus."

"Ini, minumlah." Romi memberikan satu gelas untukku. Aku minum sampai habis tanpa sisa karena tenggorokanku benar-benar kering.

"Makasih."

Dua hari aku di opname di rumah sakit, setelah itu aku pulang dengan tubuh yang lebih ringan. Selama ini, Romi tidak pernah lepas perhatiannya padaku. Membuatku kasihan kepadanya karena harus mengurus pekerjaannya dirumah.

Kini, aku memintanya untuk bekerja karena masih pagi. Aku tidak ingin dia terlalu lelah memikirkan pekerjaan dan mengurusku. Kasihan, aku tidak tega melihatnya tertidur dengan muka lelah.

"Sudah tidak apa-apa, aku sudah lebih baik. Aku akan minta Mama Sintya untuk membawa Vanya kesini."

Tadinya Romi membantah. Tetapi dengan sedikit bujukan, Romi akhirnya mau juga dan segera berganti pakaian. Setelah rapi dengan setelan jas yang aku belikan dulu, dia segera berangkat dengan muka malas melihatku. Ngambek.

Bertepatan saat Romi pergi, mobil Mama Sintya memasuki gerbang. Membuatku tersenyum melihat anak kecil bermata biru berlari ke arahku. Menghambur pelukan kepadaku, lalu dengan sigap aku menggendongnya. Tidak terlalu berat.

"Kak Violaa! Vanya kangen banget sama kakak!"

"Oh, kakak juga kangen sama Vanya."

Mama Sintya mendekatiku, dia berpakaian rapi hari ini. "Viola, tolong jaga Vanya ya, Mama akan pergi ke luar kota bersama Ayah. Mama titip Vanya karena dia dan kamu saling rindu. Sudah dulu ya, hati-hati dirumah."

"Hati-hati Ma, Pa."

Aku dan Vanya saling bercerita dan bercanda di dalam kamar. Seperti biasa, anak pintar ini selalu menghiburku. Dia ada-ada saja ide untuk menghiburku.

"Jadi, Vanya mau punya adik lagi nih? Yeeee." Vanya berjoget ala-ala yang membuatku tertawa.

"Iya, semoga matanya juga seperti kamu ya Nya. Biru terang, agar sama seperti kamu dan Arion. Lalu cantiknya kayak kakak dan sedikit ke kamu deh."

Vanya tersenyum, dia mengelus perutku, menempelkan telinganya. "Kakak laper ya?"

"Loh, aku kira kamu mau ndengerin dedek bayi. Ternyata dengerin suara perut."

Vanya tertawa lepas. Lalu kami memutuskan untuk makan siang setelah aku memasak makanan. Terlihat kelahapan dari Vanya saat memakan makanan yang aku masak sendiri. Dia selalu suka apa yang aku masak, walaupun gosong sekalipun.

Kami melanjutkan bermain di ruang keluarga, dan menghabiskan waktu siang kami di depan tv. Menonton acara kartun yang diminati olehnya. Walaupun awalnya aku tidak tertarik, mengikuti akhirnya tertarik juga.

Dering ponsel menggangguku, membuatku terpaksa mengalihkan pandanganku. Kulihat layar ponselku, ada satu pemberitahuan tentang Line. Melihat isinya membuatku bahagia, suka, sedih, dan marah menjadi satu. Campur aduk.

Pesan tersebut menampakkan satu foto tentang, Arion. Dia sudah besar dan mulai berjalan, dia terlihat tertawa. Di foto itu, dia tampan seperti Romi dengan mata birunya yang mulai terlihat jelas.

Tidak terasa tetesan air mataku mengalir, membaca deretan kata yang berada di bawah foto.

Dia anakmu, tampan seperti ayahnya. Aku sudah berjanji 'kan padamu bahwa aku akan menjaga dia layaknya anakku. Dia sehat, tidak pernah sakit. Hanya saja selalu menangis, mungkin merindukanmu. Maafkan aku, aku memisahkanmu dengannya. Ini sama seperti yang Romi lakukan padaku 'kan?

Kita seimbang.

Aku menggenggam erat ponselku, amarah memang mampu menguasaiku tetapi aku bisa mengendalikannya. Aku menghempaskan ponselku dan kembali fokus pada layar tv. Beruntung Vanya terlalu asik dengan tv sehingga dia tidak melihatku menangis tadi.

Yang aku tahu darinya,

dia balas dendam.

Aku akan membawa anakku kembali, Bayu. Makasih sudah merawat anakku. Tapi, jika kamu masih mencintaiku. Pasti kamu tidak mau aku menangis setiap malam karena memikirkan Arion, sampai jatuh sakit. Dia anakku, dan aku ibunya. Apa kamu tega?

Setidaknya, aku tahu kamu yang sebenarnya.

Send.

-

TBC

Wuhu, selese dua part malam ini! ^^

Bagaimana tentang chapter malam ini?

28 Juli 2015

Fascinated (Dalam Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang